Sunday, 20 October 2024

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Refleksi dan Koneksi Antarmateri dalam Program Guru Penggerak

Oleh Arianus Adam Raja Oja
CGP Angkatan 11 Kabupaten Ende


Pendahuluan
Program Guru Penggerak telah membawa saya melalui perjalanan pembelajaran yang kaya akan wawasan baru tentang kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Dalam tulisan ini, saya akan merangkum pengalaman dan pemahaman saya dari berbagai modul, terutama modul 3.1, yang mengajarkan tentang dilema etika, bujukan moral, pengambilan keputusan, dan pengaruhnya terhadap pendidikan yang memerdekakan. Refleksi ini juga akan menunjukkan bagaimana materi-materi tersebut terhubung satu sama lain dan relevan dengan praktik nyata dalam kepemimpinan pendidikan.

Kaitan Filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka dalam Pengambilan Keputusan Pemimpin
Filosofi Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita tentang pentingnya seorang pemimpin yang “Ing Ngarsa Sung Tuladha” (memberi teladan di depan), “Ing Madya Mangun Karsa” (membangkitkan semangat dari tengah), dan “Tut Wuri Handayani” (memberikan dorongan dari belakang). Prinsip Triloka ini berkaitan erat dengan pengambilan keputusan sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus mampu memberi teladan dalam setiap keputusannya, memotivasi, dan mendukung murid serta rekan kerja. Filosofi ini membentuk kerangka berpikir saya dalam memutuskan kebijakan yang adil, bijaksana, dan berfokus pada kepentingan murid.

Pengaruh Nilai-Nilai Pribadi terhadap Pengambilan Keputusan
Nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, seperti kejujuran, keadilan, dan rasa tanggung jawab, sangat berpengaruh terhadap prinsip-prinsip yang kita gunakan dalam pengambilan keputusan. Saya menyadari bahwa setiap keputusan yang saya buat selalu dipengaruhi oleh keyakinan saya tentang pentingnya integritas dan empati dalam pendidikan. Ketika dihadapkan pada dilema etika, saya kembali pada nilai-nilai ini untuk memastikan bahwa keputusan saya tidak hanya memecahkan masalah saat ini, tetapi juga memberikan dampak positif jangka panjang.

Pengambilan Keputusan dan Kegiatan Coaching
Proses pengambilan keputusan yang efektif sering kali membutuhkan refleksi mendalam, dan di sinilah coaching sangat membantu. Dalam program ini, sesi coaching yang diberikan oleh fasilitator telah membantu saya menganalisis dan mengevaluasi keputusan yang telah diambil. Melalui pertanyaan terbuka dan bimbingan, saya dapat lebih jelas melihat apakah keputusan yang diambil sudah tepat atau masih perlu disesuaikan. Coaching juga membuka ruang untuk mendalami pemikiran kritis dan menantang asumsi yang saya buat selama proses pengambilan keputusan.

Pengaruh Pengelolaan Sosial-Emosional terhadap Pengambilan Keputusan
Kesadaran sosial-emosional memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan, terutama saat menghadapi dilema etika. Sebagai seorang guru, kemampuan untuk mengelola emosi dan mempertimbangkan perasaan orang lain membantu saya membuat keputusan yang lebih manusiawi dan tidak reaktif. Ketika saya mengelola emosi dengan baik, saya dapat lebih tenang dalam menilai situasi, terutama dalam menghadapi konflik di kelas atau antar-rekan kerja.

Kaitan Studi Kasus Moral dengan Nilai-Nilai yang Dianut Pendidik
Dalam mempelajari berbagai studi kasus tentang dilema moral, saya melihat bahwa nilai-nilai dasar yang dianut seorang pendidik sangat mempengaruhi keputusan yang diambil. Misalnya, saat menghadapi kasus tentang tindakan disiplin terhadap murid, nilai keadilan dan kasih sayang harus seimbang. Saya belajar bahwa setiap keputusan harus didasari pada prinsip etis yang kuat agar keputusan tersebut mencerminkan kebaikan yang lebih luas.

Dampak Pengambilan Keputusan terhadap Lingkungan Belajar yang Positif
Pengambilan keputusan yang bijak tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Keputusan yang melibatkan partisipasi aktif murid dan guru dapat membangun suasana yang aman, nyaman, dan mendukung pertumbuhan. Pengalaman ini telah membuat saya lebih menyadari pentingnya melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan untuk menciptakan iklim yang positif.

Tantangan dalam Pengambilan Keputusan Dilema Etika
Salah satu tantangan terbesar dalam mengambil keputusan terkait dilema etika adalah adanya perbedaan nilai di antara berbagai pihak. Di lingkungan saya, sering kali ada perbedaan pendapat antara guru, murid, dan orang tua dalam memutuskan tindakan terbaik untuk menghadapi suatu masalah. Tantangan ini memerlukan perubahan paradigma untuk mengedepankan kolaborasi, dialog terbuka, dan penerimaan terhadap keragaman perspektif.

Pengaruh Pengambilan Keputusan terhadap Pengajaran yang Memerdekakan
Program ini menekankan pentingnya memberikan kebebasan kepada murid untuk belajar sesuai dengan potensi mereka. Pengambilan keputusan yang tepat memungkinkan saya untuk merancang pembelajaran yang berdiferensiasi, menghormati kebutuhan individu murid, dan memerdekakan mereka dari pendekatan satu ukuran untuk semua. Saya belajar bagaimana keputusan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan konteks dan potensi masing-masing murid.

Dampak Pengambilan Keputusan Pemimpin terhadap Masa Depan Murid
Seorang pemimpin pembelajaran memiliki pengaruh besar terhadap masa depan murid. Keputusan-keputusan yang kita buat hari ini, baik di dalam kelas maupun dalam kebijakan sekolah, akan berdampak jangka panjang. Saya menjadi lebih sadar bahwa setiap keputusan harus berlandaskan pada keinginan untuk memberdayakan murid, mempersiapkan mereka menjadi individu yang kreatif, kritis, dan bertanggung jawab di masa depan.

Kesimpulan Akhir dan Keterkaitan Antar Modul
Modul-modul dalam Program Guru Penggerak ini saling terkait dalam membangun kompetensi kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang beretika. Dari dilema etika hingga pengambilan keputusan berbasis prinsip moral, saya telah belajar bagaimana menerapkan pemahaman ini dalam konteks pendidikan. Dengan integrasi nilai-nilai, coaching, dan kesadaran sosial-emosional, saya merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan di lingkungan pendidikan.

Pemahaman tentang Konsep Dilema Etika dan Pengambilan Keputusan
Saya kini lebih memahami konsep dilema etika, 4 paradigma pengambilan keputusan, serta 9 langkah pengambilan keputusan. Pengalaman belajar ini mengubah cara saya dalam menghadapi situasi kompleks, membantu saya membuat keputusan yang lebih bijaksana dan berdasarkan prinsip moral yang kuat.

Pengalaman dalam Pengambilan Keputusan pada Situasi Moral Dilema sebelum Mempelajari Modul
Sebelum mempelajari modul ini, saya pernah mengalami dilema moral saat harus menegur murid yang melakukan pelanggaran namun tetap ingin menjaga harga diri mereka. Bedanya, setelah mempelajari modul ini, saya menjadi lebih terstruktur dalam pendekatan. Saya memahami bagaimana menggunakan paradigma etika dan langkah-langkah yang tepat, sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih efektif dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang.

Perubahan dalam Cara Pengambilan Keputusan Setelah Mempelajari Modul
Sebelumnya, saya cenderung mengambil keputusan secara instingtif dan berdasarkan pengalaman pribadi. Setelah belajar dari modul ini, saya lebih reflektif, menggunakan paradigma yang diajarkan untuk mempertimbangkan dampak etis dari keputusan saya. Hal ini membuat proses pengambilan keputusan lebih matang dan didasarkan pada prinsip-prinsip etika yang kuat, sehingga saya lebih percaya diri dalam membuat keputusan yang tepat.

Pentingnya Mempelajari Topik Modul ini bagi Saya sebagai Individu dan Pemimpin
Topik ini sangat penting karena membantu saya menyadari tanggung jawab moral dalam setiap keputusan yang diambil. Sebagai individu, saya belajar pentingnya berpegang teguh pada nilai-nilai etika. Sebagai pemimpin, saya lebih mampu menciptakan lingkungan yang adil, aman, dan kondusif bagi perkembangan murid, serta menjadi teladan dalam pengambilan keputusan yang etis dan berorientasi pada kepentingan bersama.

Penutup
Belajar tentang pengambilan keputusan dalam Program Guru Penggerak bukan hanya memberikan pemahaman teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat diterapkan di lapangan. Dengan refleksi ini, saya berharap dapat terus menjadi pemimpin pembelajaran yang berlandaskan nilai-nilai etika dan memberdayakan murid-murid saya untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Readmore → KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Saturday, 10 December 2022

BERDAMAI DENGAN KEHILANGAN


Pentigraf (cerpen tiga paragraf) dalam video ini berjudul BERDAMAI DENGAN KEHILANGAN. Naskah dibacakan oleh Fr. M. Walterus, BHK (Walter Arryano). Naskah diambil dari buku Kumpulan Pentigraf SANDAL JEPIT TITIPAN TUHAN (Tankali, 2020) karya Walter Arryano.

Silakan disimak.

Mohon dukungan untuk channel ini dengan cara SUBSCRIBE secara gratis, LIKE, dan SHARE di akun media sosial kalian.

Jangan lupa, tinggalkan komentar, ya.
Terima kasih.

Walter Arryano (Sang Tenang)

Readmore → BERDAMAI DENGAN KEHILANGAN

Thursday, 8 August 2019

KELUHAN PELANGGAN

Catatan Kecil untuk Ojek Online

Sudah lama saya menggunakan transportasi online untuk bepergian, terutama ketika berada di kota Malang atau Surabaya. Sejak semula saya menggunakan aplikasi Grab. Karena itu, sampai hari ini, saya tetap menggunakan Grab, bukan yang lain.
Berdasarkan pengalaman selama ini, saya merasa sangat terbantu dengan adanya moda transportasi berbasis internet ini. Cepat, murah, nyaman, pasti, tepat waktu, dan para driver-nya profesional dan ramah. Tentu juga ada satu dua kejadian kecil yang merugikan para pengguna sebagai pelanggan. Namun, itu tak seberapa dibandingkan dengan pelayanan yang mereka berikan.
Sebagai pengguna, saya sedikit memahami bahwa untuk dapat dikatakan memenuhi syarat, kendaraan yang digunakan harus baru (minimal hasil produksi tahun 2012-2013). Selain itu, antara nomor kendaraan yang teregistrasi di aplikasi dan yang ada pada kendaraan harus sesuai. Karena itu, setiap kali dijemput Grab, hal pertama yang saya lihat (baca) adalah nomor polisi dari kendaraan tersebut. Beberapa kali saya menjumpai nomor yang tidak cocok.
Terhadap nomor-nomor yang tidak cocok ini, saya selalu bertanya, "Kok nomornya tidak sama, Pak?" Jawaban mereka macam-macam. Ada yang memberi alasan karena mobilnya dipakai adik; ada yang bilang motornya sedang diperbaiki di bengkel; ada pula yang mengatakan bahwa dia menggunakan aplikasi bapakny; dan sebagainya.
Kepada para pengemudi dengan ragan alasan ini, saya biasanya tidak banyak berkomentar (komplain). Sebagai "hukuman", tidak ada lima bintang untuk mereka di aplikasi. Diamnya saya ini tidak berarti karena saya menyetujui perbuatan mereka, tetapi lebih karena saya ingin memahami. Saya percaya, orang-orang ini tentu mempunyai alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Namun, sebagai pelanggan yang telah dimudahkan urusannya oleh kehadiran Grab, saya merasa ikut bertanggung jawab untuk pengembangannya. Pada titik ini, kadang saya merasa dilema. Di satu sisi, saya ingin perusahaan ini semakin maju dan profesional. Namun di sini lain, saya menjumpai penyedia jasa (driver) yang tidak tertib, terutama soal nomor kendaraan yang tidak cocok tadi. Beberapa kali, saya ingin sekali menulis hal ini di kolom komplain yang ada di aplikasi, agar semakin profesional. Namun, saya tidak sampai hati terhadap para pengemudi yang melenceng itu. Karena akibatnya bisa fatal, mereka bisa kenah suspensi, bahkan aplikasinya tidak bisa digunakan lagi.
Pernah satu kali, saya memesan Grab. Dalam aplikasi terlihat jelas nama driver-nya dengan foto yang keren, lengkap dengan nomor kendaraannya. Akan tetapi, yang menjemput saya adalah seorang bapak yang sudah tua dengan sepeda motornya yang tidak kalah tuanya. Jelas sekali, apa yang saya temui ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang tentera dalam aplikasi. Saat itu, saya memakai jasanya tanpa komentar apa-apa. Yang terlintas dalam pikiran saya, orang tua ini membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan sepeser rupiah.
Saya pernah mengungkapkan kegalauan saya ini kepada seorang pengemudi Grab pada suatu ketika. "Pada prinsipnya, itu salah. Tapi, selama hal itu tidak merugikan pelanggan, menurut saya tidak masalah," begitu tanggapannya. Kalau mau dicermati, jawaban ini terlihat bijaksana, tetapi pada waktu yang sama, ia telah mencederai profesionalitas seorang penyedia pelayanan publik.

Frateran BHK Oro-oro Dowo 58, Malang
08 Agustus 2019 | Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → KELUHAN PELANGGAN

Saturday, 10 November 2018

MENULIS UNTUK KESEMBUHAN

Sebuah Catatan Reflektif


Beberapa waktu lalu dalam satu Whatsapp Group yang saya ikuti, ramai dengan obrolan yang seru. Beberapa member grup tersebut membagikan pengalamannya tentang menulis. Ada yang sudah mulai menulis sejak masih di Sekolah Dasar dan menerbitkan buku sendiri atau diterbitkan di majalah maupun surat kabar lain. Menurut saya, ini sangat luar biasa. Sebuah pengalaman menulis yang sangat berbeda dengan yang saya miliki. Itulah sebabnya saya menyimak obrolan itu dengan saksama secara diam-diam. Saya tidak berani menyela, menyeletuk, atau semacamnya karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Ada rasa kecil yang menyiutkan nyali lantaran saya tidak memiliki sesuatu dalam hal menulis untuk dibagikan. Saya masih sangat awam.
Pada suatu hari di bulan Februari 2018, seorang teman di facebook mem-posting sebuah catatan yang berjudul INSPIRASI di grup FB Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias. Poin yang ingin disampaikan dalam tulisan reflektif itu mengenai menulis sebagai suatu bentuk membagi inspirasi yang oleh penulis mengakuinya sebagai pemberian Yang Mahakuasa. Menulis berarti membagi inspirasi yang ditimba dari Tuhan, demikian sekiranya saya boleh memberi kesimpulannya.
Setelah menyimak obrolan di grup WA dan membaca tulisan seorang teman ini, saya lalu tergerak hati untuk berbagi satu hal kecil tentang menulis berdasarkan pengalaman saya. Apa yang menjadi judul catatan saya ini, MENULIS UNTUK KESEMBUHAN, itulah yang ingin saya bagikan melalui ulasan sederhana ini.
Pada masa Prapaskah sekitar 13 tahun lalu, saya membangun sebuah kebiasaan yang nantinya akan sangat membantu saya dalam belajar menulis. Kebiasaan baik ini bermula atas arahan Frater Magister (Pemimpin Novisiat) kepada kami, para Frater Novis untuk membuat suatu bentuk laku tapa dalam rangka mengisi masa retret agung itu.
Membaca adalah pilihan saya. Saya menggunakan waktu istirahat siang selama setengah jam setiap hari untuk menjalankan aksi mati raga itu. Bahan bacaan saya adalah koran, pada artikel-artikel yang menulis tentang sepak bola. Cukup masuk akal karena hobi saya memang di bidang itu. Selain itu juga, cerpen-cerpen yang diterbitkan setiap Minggu oleh koran itu dan Majalah Hidup adalah bacaan favorit saya.
Bermula dari situ, semakin hari saya semakin menikmati habituasi ini. Saya semakin tertarik dengan membaca. Bahan bacaannya juga kemudian berkembang ke buku-buku yang dipinjam di perpustakaan dengan bahan bacaan yang lebih berat dan saya serap semampu otak saya. Tentu selain materi-materi pembinaan (pendidikan) bagi calon Frater.
Kebiasaan membaca ini berdampak positif bagi saya dalam hal menulis buku harian yang menjadi kewajiban bagi kami para pemula hidup bakti. Bahasanya runtut, teratur, dan memiliki perbendaharaan kata yang mumpuni, demikian para formator memberi catatan tentang tulisan-tulisan saya di buku harian maupun terhadap renungan-renungan yang saya bawakan. Itulah pengaruh budaya membaca bagi pengalaman awal saya dalam belajar menulis.
Desember 2006 menjadi momen yang tidak terlupakan bagi saya dalam hubungannya dengan belajar menulis. Untuk pertama kalinya cerpen tulisan saya dimuat pada majalah internal Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, OIKOS. Ide cerpen itu terinspirasi dari cerpen yang pernah saya tulis karena ada tugas yang diberikan guru Bahasa Indonesia waktu di SMA dan menjadi satu-satunya tulisan saya yang pernah nongkrong di mading sekolah.
Cerpen yang berjudul "SELAMAT NATAL SAHABAT" itu membuat penasaran bagi teman-teman Frater Novis terutama karena nama tokoh dalam cerita itu adalah seorang gadis yang dikenal baik oleh teman-teman seangkatan. Beberapa teman dari kongregasi suster yang sempat membaca tulisan pertama saya itu juga bertanya-tanya tentang siapa gadis itu. Rupanya mereka juga ikut terhanyut dalam genangan imajinasi rekaan saya itu. Hal inilah yang kemudian membuat saya semakin bersemangat dalam menulis, khususnya cerpen.
Setelah menyelesaikan masa pembinaan di Novisiat dan berkaul sementara, saya mendapat tugas perutusan pertama sebagai Frater Yunior di Frateran Podor, Larantuka, Flores Timur, NTT. Di komunitas ini, saya diberi tanggung jawab untuk membantu tiga unit kerja. Salah satunya adalah menjadi asisten Bapak asrama SMA Frateran. Berada di antara anak-anak remaja ini, saya mendapat inspirasi untuk menulis. Namun sayangnya, selama setahun di biara yang terletak di ujung timur pulau Flores itu, saya hanya mampu menulis satu cerpen saja.
Tahun berikutnya saya dipindahkan ke Kupang. Di kota karang, ibu kota provinsi NTT ini, saya memiliki pengalaman menarik yang masih saya ingat sampai hari ini. Cerpen-cerpen tulisan saya beberapa kali dibaca dan diperdengarkan oleh sebuah stasiun radio swasta di kota kasih itu. Saya merasa begitu gembira oleh pengalaman itu dan termotivasi untuk menulis.
Menarik kalau saya kembali mengingat ke masa-masa itu. Ada sebuah cerpen yang berjudul "SEBUAH KISAH DI HARI VALENTINE” yang menceritakan tentang pengalaman pribadi seorang biarawan. Dalam cerpen itu, saya menulis tentang bagaimana seorang frater muda yang bergulat dengan dua pilihan hidup, membiara atau berkeluarga; antara cinta dan panggilan. Cerpen itu menjadi menarik karena saya jiplak dari pengalaman pergulatan saya sendiri.
Setahun kemudian, saat saya pindah tugas di Malang, tepatnya pada tahun 2009 dan saya sudah mulai menggunakan media sosial - facebook, saya mem-posting cerpen itu di kolom Notes - satu bagian laman yang disediakan facebook. Dari sekian banyak komentar yang diberikan oleh mereka yang membaca cerpen itu, ada satu yang begitu berkesan bagi saya. "Tidak semua orang biara yang saya kenal, yang berani mengungkapkan pengalaman pergulatannya di media sosial seperti ini," begitulah komentarnya. Saya menjawab saja bahwa dengan berbagi seperti ini, saya ingin bebas dari pergulatan hidup yang kemudian saya memahaminya sebagai bagian proses penyembuhan itu. Melalui cerita sederhana ini, mungkin ada teman-teman saya yang terinspirasi. Begitu, lebih lanjut saya memberi argumentasi. Padahal itu baru satu pergulatan yang wajar dialami oleh seorang religius muda yang masih labil seperti saya. Masih ada banyak yang tersimpan di arsip-arsip pengalaman hidup saya. Dengan menulis, setidaknya saya memiliki jalan keluar dari kemelut jiwa yang selama ini menghambat pertumbuhan hidup saya. Kepada Yang Mahakuasa, saya memohon rahmat-Nya untuk membantu saya. Mulai saat itu, tekad saya bulat, saya akan memulai proses ini, menulis untuk kesembuhan.
Pada 28 Oktober 1987, ibu saya pulang ke pangkuan Bapa. Ibu meninggalkan seorang suami, ayah saya bersama kelima anaknya termasuk saya. Waktu itu usia saya baru 3 tahun, 6 bulan, 8 hari. (Silakan dihitung sendiri, kalau mau tahu kapan saya lahir). Peristiwa kematian sebagaimana dialami oleh semua orang merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan. Kami juga merasakan hal yang sama. Hanya saja karena masih seorang anak kecil, saya tidak terlalu merasakannya. Mungkin karena saya belum tahu.
Ayah rupanya sulit menerima kepergian ibu yang terlalu cepat itu. Karena itu, ayah lalu memutuskan merantau ke Malaysia. Beberapa tahun ayah hidup di negeri jiran, kemudian kembali ke Indonesia dan menetap lama di Batam. Ayah baru kembali ke kampung waktu saya sudah kelas 5 SD dan hendak menerima Komuni Pertama.
Bertahun-tahun, kami hidup tanpa orang tua. Bisa dibayangkan betapa beratnya hidup tanpa orang-orang terkasih, ibu sudah meninggal, ayah pergi merantau. Merasa kehilangan, sedih, dan tanpa pegangan hidup menjadi kemelut hati yang mewarnai hari-hari hidup kami. Sejak saat itu benih-benih luka mulai mengganggu jiwa kecil saya. Beruntung masih ada sanak keluarga ibu yang memperhatikan dan memperbolehkan kami menjadi bagian dari rumah tangga mereka. Kami hidup bersama dan bertumbuh atas belas kasih keluarga besar ibu.
Kakak saya yang sulung, seorang perempuan mengambil alih peran ayah dan ibu dan menjadi ‘orang tua’ bagi kami adik-adiknya. Ketika ibu meninggal kakak saya ini masih seorang gadis kecil yang mulai meremaja. Ia baru lulus SD dan memutuskan berhenti sekolah demi nasib dan masa depan kami, keempat adiknya. Saya menulis sebuah cerpen yang berjudul “DARA TITISAN BUNDA” dipersembahkan khusus kepadanya. Dalam cerpen itu, saya mengurai bagaimana sebuah pengorbanan yang dibangun di atas landasan cinta oleh sang kakak yang telah menjadi segalanya bagi kami, adik-adiknya.
Melihat perjuangan dan pengorbanan kakak membesarkan dan menyekolahkan kami, saya mulai mengerti apa itu hidup tanpa orang tua; apa itu kehilangan. Jiwa anak-anak yang hidup dalam diri saya mulai protes. Teman-teman saya begitu bebas bermain, tetapi saya harus bekerja! Hidup ini terasa tidak adil! Perasaan iri terhadap mereka yang memiliki orang tua mulai menggerogoti jiwa saya. Hari demi hari, benih-benih luka itu terus mendera batin dan jiwa saya.
Setelah lulus SMA, saya memutuskan masuk biara. Ayah dan kakak sulung mendukung saya. Namun, tidak dengan kakak yang ketiga. Kakak perempuan yang terlahir persis sebelum saya itu keberatan dengan pilihan hidup saya. Alasannya karena saya anak laki-laki pertama di rumah dan yang lebih diandalkan sebagai penerus keluarga dibandingkan dengan adik bungsu kami yang laki-laki. Kakak yang terkenal cerdas dan kritis ini tidak terima jika keputusan saya masuk biara tanpa sepengetahuannya yang waktu itu tidak ada di rumah karena ada kegiatan kampus. Saat dia kembali, saya sudah diterima di sebuah biara di kota Maumere, Flores. Saya menulis tentangnya dalam sebuah cerpen yang berjudul “PEREMPUAN YANG MENYERUPAI IBU”.
Saya memilih Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus untuk bergabung. Ini biara yang anggotanya dipanggil “frater”, non tertahbis (frater kekal). Tiga tahun saya bersekolah di SMA Frateran Ndao Ende, sebuah sekolah favorit yang dikelola para frater BHK. Dari sana saya mengenal kongregasi ini dan memutuskan bergabung setelah sebelumnya (kelas 3 SMP), saya dinyatakan tidak lolos seleksi masuk seminari menengah.
Selama menjalani masa-masa pembinaan (pendidikan) di lembaga religius ini, saya dibantu banyak hal untuk menemukan diri. Melalui refleksi dan pendampingan, saya diarahkan untuk merangkai kembali serpihan-serpihan kisah masa lalu yang tercerai-berai terutama karena pengalaman ditinggalkan itu menjadi sebuah mosaik yang utuh bernama diri saya yang berharga di mata-Nya. Saya belajar memaafkan, menerima, dan memeluk masa lalu dengan luka-luka batin yang turut menemaninya sebagai karya rahmat Allah dalam menempa dan membentuk diri saya. Dalam dunia psiko-spiritual, proses ini disebut dengan pengolahan hidup rohani.
Pada akhirnya saya bersyukur atas semua pengalaman luka yang saya alami terutama di masa-masa awal pertumbuhan saya. Bahkan di suatu titik refleksi yang mendalam, saya dengan bebas mengatakan bahwa KEPERGIAN IBU SAYA ADALAH HADIAH TERINDAH BAGI JALAN HIDUP SAYA. Saya menulis tentang pengalaman ini dalam sebuah cerpen yang berjudul "PEREMPUAN PEMBAWA RINDU DARI SURGA" yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini.
Tentang ayah yang dulu di masa-masa sulit, kami sering protes karena keputusannya pergi merantau meninggalkan kami yang baru saja ditinggal ibu untuk selamanya, saya juga menulis sebuah cerpen. Untuk lelaki yang diberi anugerah kesabaran istimewa itu, saya menulis sebuah cerpen dengan judul "AYAH, PEMILIK CINTA YANG HAMPIR DILUPAKAN”. Dalam tulisan itu saya menguraikan bagaimana cara ayah mendidik saya, anak lelakinya yang menjadi tumpuan harapannya. Melalui cerpen yang ditulis berdasarkan hasil refleksi itu, saya menulis, "Mungkin ayah saya adalah lelaki yang paling baik, sampai Tuhan mengajari dia cara untuk mendidik saya." Jadi, kepergian ayah ke tempat rantauan itu bukan untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai orang tua, tetapi karena ayah mau mempersiapkan diri saya untuk kelak saya menjadi pribadi yang tangguh di jalan hidup saya.
Pada 28 Mei 2016 lalu, bersama dua teman angkatan yang tersisa, saya mengikrarkan Kaul Kekal di Gereja Katedral St. Yosep Maumere, Flores. Saya menulis 'yang tersisa' karena memang demikian adanya. Dari 17 pemuda yang pada awalnya memutuskan untuk bergabung dalam Kongregasi Frater BHK, tinggal kami bertiga yang sampai berkaul kekal. Syukur kepada Allah. Dalam refleksi, saya berkesimpulan, kami adalah orang-orang yang paling dikasihi Tuhan. Itu sebabnya, saya memilih satu kalimat yang diucapkan Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria, "Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah" (Luk 1:30) sebagai moto Kaul Kekal saya.
Saya merenungkan kembali perjalanan hidup saya yang walaupun penuh dengan liku-liku beronak duri, tetapi Tuhan senantiasa menjaga. Dia memanggil ibu saya pulang kepada-Nya ketika saya masih kecil, bertahun-tahun kami hidup luntang-lantung tanpa orang tua, ternyata semua itu adalah bagian dari rencana-Nya. Dia menyiapkan perjalanan hidup saya bahkan sejak saya sama sekali belum memahami apa itu kehidupan. Saya sungguh dikasihi-Nya. Saya memperoleh kasih karunia di hadapan Allah.
Tidak mudah untuk sampai ke titik ini. Butuh perjuangan bertahun-tahun untuk mengolah dan menerimanya sebagai bagian dari karya rahmat-Nya. Kongregasi melalui para formator entah di rumah pembinaan maupun di komunitas-komunitas yang pernah saya tempati berandil besar dalam proses penyembuhan ini. Secara pribadi saya mengapresiasi diri terutama atas perjuangan saya menerima pengalaman-pengalaman itu dan dituangkan dalam tulisan. Saya berbagi kisah perjalanan hidup saya dengan para frater melalui cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah internal kongregasi. Buahnya, para konfrater semakin mengenal saya dengan kisah hidup yang sesungguhnya dan saya disembuhkan.
Puncaknya pada 30 Juni 2016 lalu, di hadapan ratusan anggota keluarga besar yang turut hadir memeriahkan perayaan syukur Kaul Kekal saya di Rajawawo, Ende, Flores, kampung halaman saya, saya mengungkapkan perasaan syukur yang luar biasa. Kepada mereka, saya katakan bahwa saat ini saya adalah orang yang paling berbahagia walaupun untuk mencapainya, butuh perjuangan yang tidak mudah.
12 Cerpen yang terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen ini mengalir dari pergulatan dan refleksi perjalanan hidup saya. Beberapa di antaranya merupakan rekaan imajinatif yang terinspirasi dari situasi sekitar dan pengalaman membangun relasi dengan sesama. Terima kasih kepada semua yang berkenan membacanya. Harapan saya, melalui tulisan-tulisan sederhana ini, ada yang terdorong untuk mengungkapkan pergulatan hidupnya dengan menulis. Saya tidak mengerti teori tentang hubungan menulis dan penyembuhan luka batin, tetapi pengalaman hidup saya sudah jelas membenarkan judul ulasan sederhana ini, saya menulis untuk kesembuhan. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih untuk setiap ‘telinga yang mau mendengarkan’ curahan hati saya. [] 
†Berkat Tuhan.

| Oro-oro Dowo 58 - Malang | Agustus 2018 |
Walter Arryano
sang tenang
Readmore → MENULIS UNTUK KESEMBUHAN