Saturday, 21 April 2018

SYUKUR, TERIMA KASIH, MINTA MAAF, DAN DOAKAN!

(Sebuah catatan reflektif tentang perayaan hari ulang tahun)

Pada Jumat, 20 April 2018, usia hidup saya di dunia ini genap 34 tahun. Untuk memaknai momen itu, saya membuat catatan sederhana dari hasil permenungan saya tentang perayaan hari ulang tahun kelahiran. Catatan singkat berikut ini berangkat dari empat kata kunci yang saya renungkan di hari istimewa itu, yaitu syukur, terima kasih, minta maaf, dan doakan.

SYUKUR Merayakan hari ulang tahun seyogyanya adalah kita merayakan syukur. Mengapa demikian? Karena napas kehidupan adalah anugerah istimewa dari Tuhan bagi setiap manusia. Tanpa itu, kita adalah benda mati tak bernyawa. Untuk itu, momen ulang tahun seharusnya menjadi saat bagi kita untuk merayakan syukur.

Bagi saya, ucapan syukur yang dirayakan pada hari ulang tahun ini tentu yang pertama bagi Tuhan, atas kemurahan anugerah-Nya yang masih memberi saya hidup sampai hari ini. Kedua, saya juga bersyukur atas rahmat panggilan hidup membiara yang saya terima dari Tuhan. Atas rahmat itulah, pada setiap kali merayakan hari ulang tahun selama ini, saya selalu didoakan. Secara kongregasional, para frater di komunitas-komunitas mendoakan saya. Sanak keluarga, para sahabat, dan kenalan juga turut mendoakan saya dengan harapan-harapan yang terbaik bagi hidup saya selanjutnya.

Ini adalah upah dari pilihan hidup saya di jalan panggilan-Nya. Saya katakan demikian, karena tradisi merayakan hari ulang tahun tidak pernah saya alami waktu masih di rumah. Selama belasan tahun sebelum masuk biara, saya sulit memastikan apakah dulu saya sadar bahwa setiap 20 April itu adalah hari ulang tahun saya. Saya tidak yakin. Maka wajarlah bila kebiasaan merayakan hari ulang tahun yang selalu dilakukan di biara membuat saya merasa sangat bersyukur. Karena saya merasa begitu istimewa.

TERIMA KASIH
Sebagaimana pada momen-momen istimewa lainnya, seperti kelahiran, kelulusan, wisuda, pernikahan, dan sebagainya, pada hari ulang tahun kita mendapatkan perhatian khusus dari orang-orang terdekat. Selain mendapatkan ucapan selamat dan hadiah, kita juga dipestakan. Pada momen ini, kita diayubahagiakan dan menjadi fokus perhatian.

Di dalam biara, hal seperti ini merupakan suatu kelaziman. Sejak 2004 menjadi penghuni biara, hampir setiap tahunnya saya dipestakan. Para frater, rekan kerja, dan kenalan berkumpul untuk bergembira dan makan bersama. Kadang saya berpikir, apa nilai tambahnya dari perayaan itu, bukankah itu hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan anggaran untuk menyiapkan makanan dan lain-lainnya. Apalagi dengan tugas saya sebagai pengurus rumah tangga, bagaimana mungkin saya menyiapkan macam-macam untuk memestakan diri saya sendiri.

Namun, poinnya bukan di situ. Merayakan hari ulang tahun juga merupakan saat yang tepat untuk memperat ikatan persaudaraan di antara konfrater. Setiap hari para frater sibuk dengan tugasnya masing-masing. Bertemu dan berkumpul bersama di hari ulang tahun seorang anggota memberi peluang untuk membangun spirit persaudaraan. Di momen itu kita mendapat perhatian istimewa dari para saudara, tentu selain doa-doa dan harapan-harapan yang diungkapkan secara pribadi maupun bersama-sama. Untuk ini, ucapan terima kasih adalah keniscayaan. Ucapan terima kasih yang terlahir dari kedalaman hati yang tulus kiranya penting diungkapkan sebagai bentuk apresiasi yubilaris bagi setiap bentuk perhatian yang diterimanya.

MINTA MAAF
Sebagai manusia kita tak bisa terlepas dari kealpaan. Kita adalah manusia yang tidak sempurna. Setiap kita pernah melakukan kekeliruan, entah melalui kata-kata maupun perbuatan. Oleh karena itu, kita wajib melakukan rekonsiliasi agar keutuhan hidup bersama tetap terjaga.
Di dalam hidup membiara, keragaman anggota merupakan sesuatu yang lumrah. Di dalamnya berkumpul orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Hal inilah yang kemudian berpotensi menciptakan konflik. Gesekan-gesekan antar anggota di dalam biara merupakan hal yang normal dan wajar terjadi. Namun, jalan keluar atau pemecahan masalah menjadi usaha bersama yang harus dilakukan demi terciptanya komunitas persaudaraan yang penuh kasih.

Menurut saya, momen merayakan hari ulang tahun bisa menjadi waktu yang ideal untuk tujuan ini. Anggota yang berpesta perlu dengan rendah hati mengakui kekurangannya di hadapan para saudara. Mungkin dalam kehidupannya sehari-hari, melalui tutur kata dan tindakannya yang tidak patut, dia telah menjadi batu sandungan bagi yang lain. Dalam kesempatan ini baiklah dia menyampaikan permohonan maafnya. Tentu kita membutuhkan sikap rendah hati dan kejujuran sebagai landasan untuk mewujudkan tujuan ini. Langkah ini perlu dilakukan sebagai bentuk pembaruan diri. Kita mengevaluasi diri sambil memikirkan apa saja yang akan dilakukan sebagai upaya pembenahan pada hari-hari selanjutnya.

DOAKANDoa adalah sumber kekuatan bagi setiap orang beriman. Melalui doa, orang membangun relasi yang dekat dengan Tuhan. Sebagai sebuah persekutuan orang beriman, kita perlu saling mendoakan. Sudah pasti orang yang dirayakan ulang tahunnya didoakan secara khusus dengan harapan-harapan yang terbaik bagi dirinya. Ini adalah bentuk perhatian rohani bagi saudara yang berpesta.

Namun, perjalanan hidup tidak terbatas pada momen hari ulang tahun. Masih ada hari esok dengan seabrek tugas dan tangung jawab serta tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, pada momen ini baiklah juga kita dengan rendah hati meminta dukungan dari para saudara untuk mendoakan kita. Mengharapkan doa-doa dari sesama anggota berarti kita mempercayakan diri kita kepada uluran tangan persekutuan. Dengan demikian kita akan maju bersama dalam semangat persaudaraan yang saling menumbuhkan.

Oro-oro Dowo 58, Malang
21 April 2018 | Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → SYUKUR, TERIMA KASIH, MINTA MAAF, DAN DOAKAN!

Friday, 13 April 2018

KISAH SEORANG ANAK YANG SEDANG BERTUMBUH

(Sebuah catatan reflektif dari pengalaman mengikuti kapitel)
Oleh Frater M. Walterus BHK

Pada 9-12 April, Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia menyelenggarakan Kapitel Karya Provinsi Indonesia 2018. Ini merupakan kapitel provinsi terakhir sebelum struktur kongregasi yang baru dibentuk pada kapitel umum September 2018 nanti dengan membubarkan provinsi Indonesia. Ada yang melihat ini sebagai sebuah kemunduran, tetapi tidak sedikit yang mengakui kebijakan ini sebagai sebuah langkah dinamis agar kongregasi ini tetap servive di tengah dunia yang semakin berubah ini. Kongregasi perlu berpijak pada langkah-langkah adaptif agar tidak tergilas oleh perkembangan zaman. Juga harus realistis dengan kondisi riil angka keanggotaan kongregasi yang terus menurun dari tahun-tahun. Demikian kelompok pendukung memberi agurmentasi terhadap perubahan bentuk kepemimpinan kongregasi yang akan direalisasi dalam kepitel umum nanti. Catatan ini tidak bermaksud untuk menguraikan poin-poin silang pendapat tentang perubahan itu, tetapi saya ingin mengemukakan beberapa hal berangkat dari pengalaman saya sebagai salah seorang peserta kapitel.

Dalam kapitel yang dihadiri para peserta sidang kapitel yang terdiri dari anggota ex-offisio, kapitularis terpilih dan cadangan, undangan DPU, para overste dan para frater undangan khusus itu, saya hadir sebagai staf pembantu dengan tugas sebagai notulis. Saya garisbawahi, staf pembantu. Itulah posisi saya di antara para frater terbaik yang hadir atas nama anggota provinsi Indonesia itu. Terbaik karena mereka dipilih melalui mekanisme yang berlaku secara konstitusional.

Bagaikan setitik air di tengah lautan yang mahaluas, ia memang tak ada apa-apanya. Namun, lautan yang sangat luas itu akan berkurang tanpa kehadiran yang setitik itu. Seperti itulah analogi penyertaan saya dalam kapitel kali ini. Saya tidak mengatakan bahwa saya sangat penting, tetapi tanpa peran serta saya pelaksanaan kapitel akan merepotkan, minimal bagi penanggung jawab sekretariat. Saya sedang “menghitung” sebuah kontribusi kecil bagi pelaksanaan kegiatan penting tarekat ini. Walaupun demikian, bagi saya andil yang sekecil itu sangat berarti bagi diri saya secara pribadi. Berikut ini argumentasinya.

Ada begitu banyak frater di provinsi Indonesia, lalu kenapa saya yang dipilih? Itu berarti saya dianggap bisa dan faktanya saya sanggup membuktikan anggapan itu dengan menjalankan fungsi saya sebaik mungkin sesuai kemampuan yang saya miliki. Saya yakin kepercayaan yang diberikan kepada saya itu berangkat dari penilian subjektif bahwa saya bisa menulis dan juga berdasarkan pengalaman saya sebagai pembantu di sekretariat DPU.

Dalam catatan ini, saya ingin menyoroti soal kemampuan menulis. Memang benar, kongregasi telah membekali saya dengan studi lanjut di Perguruan Tinggi dalam bidang bahasa, tetapi berapa persen ilmu yang diperoleh di bangku kuliah bisa diterapkan dalam hidup karya? Hanya sebagian kecil, selebihnya butuh improvisasi sendiri dengan latihan yang terus-menerus. Itulah yang saya lakukan dalam dunia tulis-menulis. Saya bergaul dengan orang-orang yang suka menulis dan belajar bersama mereka. Saya membaca buku, artikel, atau catatan-catatan kecil yang memberi informasi penting bagi saya dalam belajar menulis. Hasilnya memang tidak luar biasa, tetapi cukup membuat diri saya dianggap ada dalam kepentingan bersama. Yang sesederhana ini saja sudah bisa membantu, apalagi yang memiliki kemampuan lebih, pasti akan sangat membantu lagi. Itu untuk direnungakan, terutama bagi teman-teman frater muda.

Poin kedua yang ingin saya ungkapkan yaitu mengenai pengalaman yang saya timba dari kegiatan enam tahunan itu. Saya adalah peserta yang paling muda berdasarkan usia kelahiran maupun usia hidup membiara. Artinya, pada momen itu saya berada di antara para senior yang tentunya memiliki seabrek pengalaman. Sambil menjalakan tugas, kesempatan itu saya gunakan untuk belajar. Saya belajar berkapitel dengan mekanisme dan tata caranya. Saya belajar memahami cara berpikir dan langkah solutif yang ditawarkan para frater terhadap suatu persoalan yang diangkat. Saya  belajar memahami kongregasi ini secara lebih dekat dengan aneka progresivitas yang membanggakan di tengah kompleksitas masalah yang dimilikinya.

Sambil mencatat apa yang dibicarakan, saya mengidentifikasi dimanika yang sedang terjadi di dalam tubuh kongregasi ini. Saya melihat orang-orang tulus yang berbicara tentang cintanya terhadap kongregasi. Saya mendengar keluhan-keluhan mereka yang bekerja keras mengembangkan misi Allah melalui tugas perutusan yang dipercayakan. Saya seperti melihat hamparan kisah-kisah mahahebat tentang cita-cita pendiri yang mengalir deras di medan-medan karya para frater. Di sisi lain, saya tertantang untuk ikut memikirkan apa yang menjadi tangisan “ibu kongregasi” di tengah beragam “luka” yang menggerogotinya. Pada titik ini, saya merasa semakin bertumbuh dalam sense of belonging terhadap tarekat tercinta ini. Sebuah rumah bersama yang di dalamnya saya adalah seorang anak yang dikasihi dan mengasihi.

Oro-oro Dowo 58, Malang
13 April 2018 | Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → KISAH SEORANG ANAK YANG SEDANG BERTUMBUH