Ardi - Arry - Wisnu |
Pada 2010,
saya pindah komunitas dari Malang ke Surabaya dan mendapat tugas perutusan
studi. Pada awalnya saya diberi tanggung jawab untuk kuliah mengambil jurusan
pendidikan bahasa Jerman di Universitas Surabaya (Unesa). Bersama kedua frater
yang lain, kami mengikuti tes masuk. Kedua frater itu diterima di jurusan
masing-masing, sementara saya tidak. Oleh karena itu, setelah berdiskusi dengan
pimpinan komunitas setempat, saya diputuskan untuk kuliah di Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Tulisan ini adalah
uraian dari berbagai pengalaman dan hal-hal menarik yang saya alami selama
status mahasiswa menjadi salah satu bagian dari sejarah hidup saya.
Mahasisa Baru
Sebagaimana
lazimnya, proses menjadi anak kuliah akan didahului dengan masa orientasi
sebagai persiapan memasuki dunia kampus. Saya pun melaluinya. Pada waktu itu,
masa-masa pengenalan ini disebut dengan masa orientasi mamasiswa yang disingkat
MOM. Berlangsung selama satu minggu dengan pembagiannya demikian, Senin-Rabu
adalah MOM tingkat universitas dan Kamis-Sabtu adalah MOM tingkat fakultas yang
ditutup dengan malam inagurasi di akhir pekan.
Masih segar
dalam ingatan saya, selama masa-masa itu, saya berangkat pagi, pulang sudah
malam. Kegiatan MOM dilasanakan mulai pukul 06.00 dan berakhir pada pukul
18.00. Menggunakan angkot dengan durasi perjalanan sekitar 45 menit, saya harus
berangkat dari rumah pukul 05.00 agar tidak terlambat dan luput dari hukuman.
Tiba lagi di rumah pukul 19.00-20.00. Sudah malam, lapar dan sangat melelahkan.
Selanjutnya saya harus membuat persiapan lagi untuk kegiatan MOM hari
berikutnya. Begitu terus selama sepekan masa-masa pengenalan kampus itu.
Selain
merasa lelah, ada hal lain juga yang saya alami. Untuk masalah disiplin, tekun
dan taat pada aturan, itu sama sekali tidak ada masalah. Di biara hal-hal
begitu sudah menjadi bagian dari pola hidup. Persoalannya ada pada diri saya.
Saya lulus SMA tahun 2004. Sementara 99 % maba ini adalah anak-anak yang baru
lulus SMA. Itu berarti selisih usai mereka rata-rata 6-7 tahun di bawah saya.
Saya berasal dari Flores dan berada di antara sebagian besar orang Jawa dengan
warna kulit, “kondisi” rambut, serta dialek bahasa dan aksen berbicara yang
jauh berbeda dengan mereka. Masih ada perbedaan-perbedaan lain yang tidak diuraikan
di sini. Bisa dibayangkan betapa susahnya saya beradaptasi. Namun, karena ini
sudah menjadi konsekuensi, tuntutan situasi dan demi tugas perutusan, saya
berusaha menyesuaikan diri. Sampai akhirnya saya mampu melewati seluruh proses
MOM ini dengan. Begitulah tujuan lain dari kegiatan MOM ini, selain untuk
mengenal kampus dan teman-teman seangkatan yang dua orang di antara mereka
nantinya akan begitu penting bagi saya sebagai mahasiswa selama kami menjadi
bagian dari civitas kampus itu.
Bersaudara dalam Perbedaan
Selama
mengikuti kegiatan MOM, masa orientasi mahasiswa, saya mengenal dan dikenal
oleh sekian banyak orang, terutama mereka yang satu kelompok dan satu jurusan.
Di antara yang sekian banyak ini, Ardi adalah salah satunya. Kami satu kelompok
selama masa orientasi itu, juga satu jurusan, sama-sama mengambil jurusan
pendidikan bahasa Inggris. Apa karena kebetulan atau memang sudah diatur oleh
Yang Mahakuasa, kebersamaan kami berlanjut sampai kami lulus kuliah. Selain
dengan Ardi, saya juga berkawan karib dengan seorang mahasiswa lagi, namanya
Wisnu. Berbeda dengan Ardi yang sudah sejak masa orientasi, bersama Wisnu, kami
mulai berteman dekat sejak semester 2. Karena kami dekat, maka temanku adalah
teman Ardi, demikian pun juga, teman Ardi adalah teman Wisnu juga. Jadilah saya
memiliki dua teman dekat selama menjadi mahasiswa. Dua teman yang boleh saya
sebut sebagai konfraters, sesama
saudara. Keberadaan tulisan ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh niat saya
untuk mengisahkan kembali cerita tentang kami, saya dan kedua saudara saya ini
di masa-masa indah tatkala status mahasiswa disematkan pada pundak kami.
Seperti berikut ini ceritanya.
Saya, Ardi
dan Wisnu memiliki embelan di depan nama panggilan kami masing-masing, yaitu till, potongan dari kata pentil yang disisip lagi dengan kata
bro. Jadi nama panggilan di antara kami adalah bro till Arry (nama panggilan
saya waktu kuliah dulu), bro till Ardi dan bro till Wisnu. Pada awalnya saya
tidak tahu apa arti kata pentil yang dimaksudkan. Yang saya pahami kata pentil
itu berarti benda kecil yang biasa dipakai untuk menambah angin pada ban
kendaraan atau bola. Tapi apa hubungannya dengan nama panggilan kami? Hal ini
membuat saya bingung. Lalu saya mencari tahu. Bertanya langsung ke mereka, saya
tidak akan mendapat penjelasan yang jujur. Di tengah kebingungan itu, saya
mencoba bertanya pada seorang teman mahasiswi. Bukan jawaban yang saya dapat,
tapi malah saya dilabrak. Dengan ekspresi yang paling jelek sedunia (yang ini
saya tambah), dia bertanya dari mana saya tahu kata itu. Saya malah tambah
bingung. Saya memang sungguh tidak mengerti arti kata itu. Tetapi saya paham
bahwa ada yang tidak beres dengan kata ini dan saya telah bertanya pada nara
sumber yang salah. Betapa polos dan lugunya saya waktu itu. Sampai pada akhirnya
saya bertemu dengan nara sumber yang tidak tega dengan keluguan saya. Dari
padanya saya mendapat informasi bahwa arti dari kata yang dimaksudkan itu bukan
yang ada dalam pemahaman saya tetapi kata pentil yang dimaksudkan oleh kedua
teman saya itu berarti (maaf) puting susu. Masyaallah, ampun Tuhan. Ternyata
saya di-kerjain. Begitulah cerita
tentang embel-embel nama panggilan kami. Sebagai informasi tambahan, sejak saat
itu sampai sekarang kata itu tetap ada di depan nama kami, walaupun saya sudah
tahu arti sebenarnya. wkwkwk. ***
Kedua
saudara saya ini adalah Muslim yang taat dan saleh. Tak pernah sekali pun saya
melihat mereka lalai dalam menjalankan sholat. Apalagi puasa penuh di bulan
Ramadan. Saya sangat kagum kepada mereka. Bahkan sebagai seorang frater yang
memiliki waktu doa yang disiplin dan teratur di biara, saya masih kalah dengan
mereka. Setiap kali suara adzan berkumandang, keduanya sesegera mungkin
beranjak ke masjid kampus, meninggalkan apa saja yang sedang dilakukan. Bahkan
jika kami sedang kerja tugas di biara, ruangan belajar pun bisa dijadikan
tempat bagi mereka untuk sholat. Berkaitan dengan ini, saya masih ingat pada
masa-masa awal kuliah dulu, saat ruangan kuliah kami masih dekat dengan masjid
kampus. Waktu kedua teman saya ini menjalankan sholat, saya pasti berada di
pelataran masjid, bertugas menjaga tas-tas mereka, juga milik teman-teman lain
terutama yang sekelas dengan kami. Hampir setiap hari di semester-semester awal
perkuliahan kami. Kebiasaan ini ternyata menarik perhatian teman-teman sesama
Katolik. Sampai ada yang menyeletuk, “jangan-jangan frater ini sudah mualaf?”
Yang lain bahkan bertanya, “ter, kamu itu frater atau ustad sih, kok hari-hari
ada di masjid?” Parahnya lagi, reaksi teman-teman Katolik yang tentunya hanya bergurau
itu didengar oleh dua teman Muslim saya tadi. Jadilah saya sering dipanggil
ustad oleh mereka. Tentu panggilan bro till (pentill) tidak hilang begitu saja.
wkwkwk. ***
Zaman saya
kuliah dulu ada tiga akronim yang cukup populer untuk menggambar tiga tipe
mahasiswa, yaitu kupu-kupu, kunang-kunang dan kura-kura. Kupu-kupu adalah
singkatan dari kuliah pulang-kuliah pulang, untuk menggambarkan tipe mahasiswa
yang selalu pulang sehabis kuliah. Mahasiswa jenis ini tidak tertarik dengan
urusan lain di kampus selain untuk mengikuti perkuliahan. Kunang-kunang adalah
singkatan dari kuliah nangkring-kuliah nangkring, untuk menggambarkan tipe
mahasiswa yang kerjanya hanya kuliah dan nangkring apabila ke kampus. Mahasiswa
jenis ini tidak langsung pulang selepas kuliah, tetapi duduk-duduk dulu bersama
gengnya, lantas mengobrol atau bersenda gurau bersama rekan-rekannya. Sementara
kura-kura adalah singkatan dari kuliah rapat-kuliah rapat, untuk menggambarkan
tipe mahasiswa yang kerjanya rapat melulu sehabis kuliah. Mahasiswa jenis ini
adalah aktivis kampus yang aktif di berbagai organisasi dalam lingkungan
universitas. Bagaimana dengan kami bertiga?
Kami adalah
tipe mahasiswa dengan label tiga akronim itu. Kami bisa menjadi apa saja
tergantung situasinya. Betipe kupu-kupu apabila ada urusan penting di rumah
kami masing-masing yang mendesak kami harus segera pulang sehabis kuliah. Di
luar itu kami akan menjadi mahasiswa dengan dua tipe yang lain. Menjadi mahasiswa
kunang-kunang apabila tidak ada urusan penting yang memanggil kami segera
kembali ke rumah atau tidak ada kegiatan organisasi yang menuntut kami untuk berkumpul
di markas masing-masing. Kesempatan ini, seperti mahasiswa yang lain, kami akan
menghabiskan waktu dengan duduk-duduk saja sambil bersenda gurau. Tempat
favorit kami adalah lobi utama kampus. Menjadi favorit karena tempat itu
menjadi akses utama bagi civitas kampus saat pergi atau pulang kuliah, dengan
demikian kami memiliki banyak kesempatan untuk melihat orang-orang itu,
terutama mahasiswi-mahasiswi cantik, hehehe. Saya masih ingat, salah satu
kebiasaan dua saudara saya ini, kalau ada mahasiswi cantik yang lewat
sendirian, mereka akan mengikuti gadis itu dengan pandangan mata lelaki normal
sampai yang bersangkutan menjauh, kemudian mereka akan saling tatap dan
bisik-bisik dengan antusias, mungkin berkomentar tentang gadis itu. Akan
semakin seru jika saya nimbrung, memberi bumbu.
Tapi repotnya kalau saya tidak ikut dan malah lebih tertarik memperhatikan
tingkah laku mereka berdua, saat itulah saya akan berkomentar, “mulai sudah,
otaknya mulai kotor”. Bisa ditebak selanjutnya yang terjadi kami akan ngakak bareng. Sangat menyenangkan.
Suasana persaudaraan sungguh terasa. (Sorry brothers, bongkar rahasia nih)
wkwkwk.
Sementara menjadi
mahasiswa dengan tipe kura-kura memberi peluang bagi kami keluar dari diri dan
kelompok untuk terlibat dengan orang lain. Kami belajar bersosialisasi,
berorganisasi, dan manajemen waktu. Kesempatan ini memberi ruang dan waktu bagi
kami untuk mengembangkan diri. Karena kami sadar bahwa ilmu yang diperoleh di
ruang kuliah tidak cukup untuk bekal masa depan kami. Kami perlu asupan
tambahan untuk memperkuat karakter kami agar siap menghadapi tuntutan dunia
kerja kelak. Untuk itulah kami aktif di berbagai organisasi masing-masing. Ardi
dan Wisnu menjadi aktivis di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) sedangkan saya aktif di UKM Kerohanian Katolik sesuai identitas
saya sebagai “ustad” Katolik. hehehe ***
Siapa saja
yang berjuang bersama saya di tempat perutusan, dia adalah konfraters saya, sesama saudara yang turut mendukung panggilan
hidup saya. Siapa pun dia, bahkan yang bukan saudara sepanggilan. Spirit inilah
yang saya bawa selalu dalam relasi bersama kedua teman saya itu. Memang mereka awam
dan berbeda dalam berbagai aspek, tetapi mereka begitu memahami kehidupan saya.
Saya sering bercerita, memberi pemahaman atau menjelaskan apa saja yang ingin
mereka ketahui tentang kehidupan di biara. Kadang-kadang kami mengerjakan tugas
dan belajar bersama di biara. Kalau bertepatan dengan waktu makan di biara,
para frater yang lain juga welcome,
mengajak mereka ikut makan bersama. Kami tidak merasakan ada sekat apa pun. Hal
ini terjadi lantaran kami saling terbuka, saling menerima apa saja yang menjadi
perbedaan kami. Bagi kami perbedaan adalah kekuatan untuk maju bersama. Saya
bersyukur bisa bertemu dan berkawan karib dengan kedua orang itu. Saya ingat
pertama kali saya menjelaskan kepada si Ardi bahwa saya adalah seorang frater
(biarawan Katolik yang tidak menikah). Dia terheran-heran. Berkali-kali dia
bertanya, memastikan, apakah sungguh saya tidak menikah. Wajah polosnya
seketika bungkam saat saya bilang, “itu panggilan hidupku, bro, kamu tidak akan
bisa memahami karena kamu tidak mengalaminya”. Semenjak itu kami semakin akrab
sampai bergabung lagi si Wisnu di semester berikutnya. Sekali lagi saya sangat
bersyukur menjalani perutusan di kampus ini dan bertemu dengan kedua saudara
itu. Mereka selalu mendukung saya. Apa pun tingkah laku saya yang tidak sesuai
sebagai seorang frater, mereka akan mengomentarinya. Salah satu yang sering
terjadi misalnya, mereka rusuh apabila melihat saya duduk berdua dengan seorang
cewek. Begini yang sering mereka katakan, “kamu itu bro, katanya nggak menikah,
tapi berduaan terus sama cewek”. Atau pada kesempatan lain mereka berkomentar, “ah
kamu bro, hari ini cewek lain, besok ganti lagi, kamu itu frater atau playboy sih, hahahaha.” Itu adalah
bentuk perhatian yang saya dapat dari mereka. Mereka ikut bertanggung jawab dan
menjaga panggilan hidup saya.
Selain
memberi dukungan, kadang otak jahil mereka cukup kreatif menantang saya yang
memilih hidup tidak menikah. Saya ingat pada salah satu semester, kami terpaksa
mengambil waktu kuliah pada sore hari karena kelas pagi sudah penuh. Itu adalah
semester-semester awal. Selama satu setengah tahun atau tiga semester awal,
saya masih menggunakan angkot untuk pergi-pulang kuliah. Kebetulan jalur angkot
saya melewati Gang Dolly, lokalisasi paling terkenal di kota Surabaya yang saat
itu belum ditutup oleh pemerintah. Kedua teman saya yang suka jahil ini
memanfaatkan kesempatan ini untuk ber-“wisata malam”. Begitu mereka memberi
nama aktivitas kami setelah kuliah jam terakhir yang memang sudah malam. Mereka
berdalih, pura-pura mau mengantar saya menggunakan sepeda motor ke jalan utama.
Padahal maksud tersembunyinya adalah mereka ingin melihat gadis-gadis cantik,
berdandan rapi dan memesona yang sedang menunggu pelanggan di sepanjang gang
itu. Itulah yang mereka sebut dengan wisata malam. Awalnya saya merasa risih,
tapi lama-lama ikut menikmati juga, hehehe. Namun, satu hal yang saya kagum
dengan mereka, apa yang dilakukan ini hanya isengan saja, sebagai bentuk
rileksasi setelah pikiran mumet karena kuliah. Mereka tidak sampai terjerumus,
apalagi sampai tega menjerumuskan si frater yang jadi korban kejahilan mereka
itu. Sungguh mereka adalah pemuda yang baik dan setia terhadap pasangannya
masing-masing. Pacar-pacar mereka saat itu yang adalah adik semester kami, kini
telah menjadi istrinya masing-masing. Itulah bukti kesetiaan yang saya
maksudkan. Saya menyaksikan bentuk kesetiaan mereka terhadap pasangannya
masing-masing dengan mengikuti resepsi pernikahan mereka, untuk Wisnu dan
istrinya, sementara pada pernikahan Ardi dan istrinya saya hanya bisa hadir
melalui doa.
Masih ada
banyak pengalaman yang tidak sempat diceritakan dalam tulisan ini. Biarlah itu
semua menjadi kenangan indah bagi kami dan kisah hebat untuk diceritakan kepada
anak-anak bagi kedua saudara saya ini.
Dear
brothers, it’s our story. I write it just for remembering both of you. I thank
God for His gift, that both of you are precious gift from heaven for me. I
proud of you, brothers. Many thanks for all we have done and felt during four
years in our study in the university. With hundreds love of brotherhood, pentil brothers. bro tilll...Arry.
Malang, 28 Juni 2017