Wednesday, 28 June 2017

Kisah Kasih di Bangku Kuliah

Ardi - Arry - Wisnu
Pada 2010, saya pindah komunitas dari Malang ke Surabaya dan mendapat tugas perutusan studi. Pada awalnya saya diberi tanggung jawab untuk kuliah mengambil jurusan pendidikan bahasa Jerman di Universitas Surabaya (Unesa). Bersama kedua frater yang lain, kami mengikuti tes masuk. Kedua frater itu diterima di jurusan masing-masing, sementara saya tidak. Oleh karena itu, setelah berdiskusi dengan pimpinan komunitas setempat, saya diputuskan untuk kuliah di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Tulisan ini adalah uraian dari berbagai pengalaman dan hal-hal menarik yang saya alami selama status mahasiswa menjadi salah satu bagian dari sejarah hidup saya.

Mahasisa Baru
Sebagaimana lazimnya, proses menjadi anak kuliah akan didahului dengan masa orientasi sebagai persiapan memasuki dunia kampus. Saya pun melaluinya. Pada waktu itu, masa-masa pengenalan ini disebut dengan masa orientasi mamasiswa yang disingkat MOM. Berlangsung selama satu minggu dengan pembagiannya demikian, Senin-Rabu adalah MOM tingkat universitas dan Kamis-Sabtu adalah MOM tingkat fakultas yang ditutup dengan malam inagurasi di akhir pekan.

Masih segar dalam ingatan saya, selama masa-masa itu, saya berangkat pagi, pulang sudah malam. Kegiatan MOM dilasanakan mulai pukul 06.00 dan berakhir pada pukul 18.00. Menggunakan angkot dengan durasi perjalanan sekitar 45 menit, saya harus berangkat dari rumah pukul 05.00 agar tidak terlambat dan luput dari hukuman. Tiba lagi di rumah pukul 19.00-20.00. Sudah malam, lapar dan sangat melelahkan. Selanjutnya saya harus membuat persiapan lagi untuk kegiatan MOM hari berikutnya. Begitu terus selama sepekan masa-masa pengenalan kampus itu.

Selain merasa lelah, ada hal lain juga yang saya alami. Untuk masalah disiplin, tekun dan taat pada aturan, itu sama sekali tidak ada masalah. Di biara hal-hal begitu sudah menjadi bagian dari pola hidup. Persoalannya ada pada diri saya. Saya lulus SMA tahun 2004. Sementara 99 % maba ini adalah anak-anak yang baru lulus SMA. Itu berarti selisih usai mereka rata-rata 6-7 tahun di bawah saya. Saya berasal dari Flores dan berada di antara sebagian besar orang Jawa dengan warna kulit, “kondisi” rambut, serta dialek bahasa dan aksen berbicara yang jauh berbeda dengan mereka. Masih ada perbedaan-perbedaan lain yang tidak diuraikan di sini. Bisa dibayangkan betapa susahnya saya beradaptasi. Namun, karena ini sudah menjadi konsekuensi, tuntutan situasi dan demi tugas perutusan, saya berusaha menyesuaikan diri. Sampai akhirnya saya mampu melewati seluruh proses MOM ini dengan. Begitulah tujuan lain dari kegiatan MOM ini, selain untuk mengenal kampus dan teman-teman seangkatan yang dua orang di antara mereka nantinya akan begitu penting bagi saya sebagai mahasiswa selama kami menjadi bagian dari civitas kampus itu.

Bersaudara dalam Perbedaan
Selama mengikuti kegiatan MOM, masa orientasi mahasiswa, saya mengenal dan dikenal oleh sekian banyak orang, terutama mereka yang satu kelompok dan satu jurusan. Di antara yang sekian banyak ini, Ardi adalah salah satunya. Kami satu kelompok selama masa orientasi itu, juga satu jurusan, sama-sama mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Apa karena kebetulan atau memang sudah diatur oleh Yang Mahakuasa, kebersamaan kami berlanjut sampai kami lulus kuliah. Selain dengan Ardi, saya juga berkawan karib dengan seorang mahasiswa lagi, namanya Wisnu. Berbeda dengan Ardi yang sudah sejak masa orientasi, bersama Wisnu, kami mulai berteman dekat sejak semester 2. Karena kami dekat, maka temanku adalah teman Ardi, demikian pun juga, teman Ardi adalah teman Wisnu juga. Jadilah saya memiliki dua teman dekat selama menjadi mahasiswa. Dua teman yang boleh saya sebut sebagai konfraters, sesama saudara. Keberadaan tulisan ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh niat saya untuk mengisahkan kembali cerita tentang kami, saya dan kedua saudara saya ini di masa-masa indah tatkala status mahasiswa disematkan pada pundak kami. Seperti berikut ini ceritanya.

Saya, Ardi dan Wisnu memiliki embelan di depan nama panggilan kami masing-masing, yaitu till, potongan dari kata pentil yang disisip lagi dengan kata bro. Jadi nama panggilan di antara kami adalah bro till Arry (nama panggilan saya waktu kuliah dulu), bro till Ardi dan bro till Wisnu. Pada awalnya saya tidak tahu apa arti kata pentil yang dimaksudkan. Yang saya pahami kata pentil itu berarti benda kecil yang biasa dipakai untuk menambah angin pada ban kendaraan atau bola. Tapi apa hubungannya dengan nama panggilan kami? Hal ini membuat saya bingung. Lalu saya mencari tahu. Bertanya langsung ke mereka, saya tidak akan mendapat penjelasan yang jujur. Di tengah kebingungan itu, saya mencoba bertanya pada seorang teman mahasiswi. Bukan jawaban yang saya dapat, tapi malah saya dilabrak. Dengan ekspresi yang paling jelek sedunia (yang ini saya tambah), dia bertanya dari mana saya tahu kata itu. Saya malah tambah bingung. Saya memang sungguh tidak mengerti arti kata itu. Tetapi saya paham bahwa ada yang tidak beres dengan kata ini dan saya telah bertanya pada nara sumber yang salah. Betapa polos dan lugunya saya waktu itu. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan nara sumber yang tidak tega dengan keluguan saya. Dari padanya saya mendapat informasi bahwa arti dari kata yang dimaksudkan itu bukan yang ada dalam pemahaman saya tetapi kata pentil yang dimaksudkan oleh kedua teman saya itu berarti (maaf) puting susu. Masyaallah, ampun Tuhan. Ternyata saya di-kerjain. Begitulah cerita tentang embel-embel nama panggilan kami. Sebagai informasi tambahan, sejak saat itu sampai sekarang kata itu tetap ada di depan nama kami, walaupun saya sudah tahu arti sebenarnya. wkwkwk. ***

Kedua saudara saya ini adalah Muslim yang taat dan saleh. Tak pernah sekali pun saya melihat mereka lalai dalam menjalankan sholat. Apalagi puasa penuh di bulan Ramadan. Saya sangat kagum kepada mereka. Bahkan sebagai seorang frater yang memiliki waktu doa yang disiplin dan teratur di biara, saya masih kalah dengan mereka. Setiap kali suara adzan berkumandang, keduanya sesegera mungkin beranjak ke masjid kampus, meninggalkan apa saja yang sedang dilakukan. Bahkan jika kami sedang kerja tugas di biara, ruangan belajar pun bisa dijadikan tempat bagi mereka untuk sholat. Berkaitan dengan ini, saya masih ingat pada masa-masa awal kuliah dulu, saat ruangan kuliah kami masih dekat dengan masjid kampus. Waktu kedua teman saya ini menjalankan sholat, saya pasti berada di pelataran masjid, bertugas menjaga tas-tas mereka, juga milik teman-teman lain terutama yang sekelas dengan kami. Hampir setiap hari di semester-semester awal perkuliahan kami. Kebiasaan ini ternyata menarik perhatian teman-teman sesama Katolik. Sampai ada yang menyeletuk, “jangan-jangan frater ini sudah mualaf?” Yang lain bahkan bertanya, “ter, kamu itu frater atau ustad sih, kok hari-hari ada di masjid?” Parahnya lagi, reaksi teman-teman Katolik yang tentunya hanya bergurau itu didengar oleh dua teman Muslim saya tadi. Jadilah saya sering dipanggil ustad oleh mereka. Tentu panggilan bro till (pentill) tidak hilang begitu saja. wkwkwk. ***

Zaman saya kuliah dulu ada tiga akronim yang cukup populer untuk menggambar tiga tipe mahasiswa, yaitu kupu-kupu, kunang-kunang dan kura-kura. Kupu-kupu adalah singkatan dari kuliah pulang-kuliah pulang, untuk menggambarkan tipe mahasiswa yang selalu pulang sehabis kuliah. Mahasiswa jenis ini tidak tertarik dengan urusan lain di kampus selain untuk mengikuti perkuliahan. Kunang-kunang adalah singkatan dari kuliah nangkring-kuliah nangkring, untuk menggambarkan tipe mahasiswa yang kerjanya hanya kuliah dan nangkring apabila ke kampus. Mahasiswa jenis ini tidak langsung pulang selepas kuliah, tetapi duduk-duduk dulu bersama gengnya, lantas mengobrol atau bersenda gurau bersama rekan-rekannya. Sementara kura-kura adalah singkatan dari kuliah rapat-kuliah rapat, untuk menggambarkan tipe mahasiswa yang kerjanya rapat melulu sehabis kuliah. Mahasiswa jenis ini adalah aktivis kampus yang aktif di berbagai organisasi dalam lingkungan universitas. Bagaimana dengan kami bertiga?

Kami adalah tipe mahasiswa dengan label tiga akronim itu. Kami bisa menjadi apa saja tergantung situasinya. Betipe kupu-kupu apabila ada urusan penting di rumah kami masing-masing yang mendesak kami harus segera pulang sehabis kuliah. Di luar itu kami akan menjadi mahasiswa dengan dua tipe yang lain. Menjadi mahasiswa kunang-kunang apabila tidak ada urusan penting yang memanggil kami segera kembali ke rumah atau tidak ada kegiatan organisasi yang menuntut kami untuk berkumpul di markas masing-masing. Kesempatan ini, seperti mahasiswa yang lain, kami akan menghabiskan waktu dengan duduk-duduk saja sambil bersenda gurau. Tempat favorit kami adalah lobi utama kampus. Menjadi favorit karena tempat itu menjadi akses utama bagi civitas kampus saat pergi atau pulang kuliah, dengan demikian kami memiliki banyak kesempatan untuk melihat orang-orang itu, terutama mahasiswi-mahasiswi cantik, hehehe. Saya masih ingat, salah satu kebiasaan dua saudara saya ini, kalau ada mahasiswi cantik yang lewat sendirian, mereka akan mengikuti gadis itu dengan pandangan mata lelaki normal sampai yang bersangkutan menjauh, kemudian mereka akan saling tatap dan bisik-bisik dengan antusias, mungkin berkomentar tentang gadis itu. Akan semakin seru jika saya nimbrung, memberi bumbu. Tapi repotnya kalau saya tidak ikut dan malah lebih tertarik memperhatikan tingkah laku mereka berdua, saat itulah saya akan berkomentar, “mulai sudah, otaknya mulai kotor”. Bisa ditebak selanjutnya yang terjadi kami akan ngakak bareng. Sangat menyenangkan. Suasana persaudaraan sungguh terasa. (Sorry brothers, bongkar rahasia nih) wkwkwk.

Sementara menjadi mahasiswa dengan tipe kura-kura memberi peluang bagi kami keluar dari diri dan kelompok untuk terlibat dengan orang lain. Kami belajar bersosialisasi, berorganisasi, dan manajemen waktu. Kesempatan ini memberi ruang dan waktu bagi kami untuk mengembangkan diri. Karena kami sadar bahwa ilmu yang diperoleh di ruang kuliah tidak cukup untuk bekal masa depan kami. Kami perlu asupan tambahan untuk memperkuat karakter kami agar siap menghadapi tuntutan dunia kerja kelak. Untuk itulah kami aktif di berbagai organisasi masing-masing. Ardi dan Wisnu menjadi aktivis di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sedangkan saya aktif di UKM Kerohanian Katolik sesuai identitas saya sebagai “ustad” Katolik. hehehe ***

Siapa saja yang berjuang bersama saya di tempat perutusan, dia adalah konfraters saya, sesama saudara yang turut mendukung panggilan hidup saya. Siapa pun dia, bahkan yang bukan saudara sepanggilan. Spirit inilah yang saya bawa selalu dalam relasi bersama kedua teman saya itu. Memang mereka awam dan berbeda dalam berbagai aspek, tetapi mereka begitu memahami kehidupan saya. Saya sering bercerita, memberi pemahaman atau menjelaskan apa saja yang ingin mereka ketahui tentang kehidupan di biara. Kadang-kadang kami mengerjakan tugas dan belajar bersama di biara. Kalau bertepatan dengan waktu makan di biara, para frater yang lain juga welcome, mengajak mereka ikut makan bersama. Kami tidak merasakan ada sekat apa pun. Hal ini terjadi lantaran kami saling terbuka, saling menerima apa saja yang menjadi perbedaan kami. Bagi kami perbedaan adalah kekuatan untuk maju bersama. Saya bersyukur bisa bertemu dan berkawan karib dengan kedua orang itu. Saya ingat pertama kali saya menjelaskan kepada si Ardi bahwa saya adalah seorang frater (biarawan Katolik yang tidak menikah). Dia terheran-heran. Berkali-kali dia bertanya, memastikan, apakah sungguh saya tidak menikah. Wajah polosnya seketika bungkam saat saya bilang, “itu panggilan hidupku, bro, kamu tidak akan bisa memahami karena kamu tidak mengalaminya”. Semenjak itu kami semakin akrab sampai bergabung lagi si Wisnu di semester berikutnya. Sekali lagi saya sangat bersyukur menjalani perutusan di kampus ini dan bertemu dengan kedua saudara itu. Mereka selalu mendukung saya. Apa pun tingkah laku saya yang tidak sesuai sebagai seorang frater, mereka akan mengomentarinya. Salah satu yang sering terjadi misalnya, mereka rusuh apabila melihat saya duduk berdua dengan seorang cewek. Begini yang sering mereka katakan, “kamu itu bro, katanya nggak menikah, tapi berduaan terus sama cewek”. Atau pada kesempatan lain mereka berkomentar, “ah kamu bro, hari ini cewek lain, besok ganti lagi, kamu itu frater atau playboy sih, hahahaha.” Itu adalah bentuk perhatian yang saya dapat dari mereka. Mereka ikut bertanggung jawab dan menjaga panggilan hidup saya.
 
Selain memberi dukungan, kadang otak jahil mereka cukup kreatif menantang saya yang memilih hidup tidak menikah. Saya ingat pada salah satu semester, kami terpaksa mengambil waktu kuliah pada sore hari karena kelas pagi sudah penuh. Itu adalah semester-semester awal. Selama satu setengah tahun atau tiga semester awal, saya masih menggunakan angkot untuk pergi-pulang kuliah. Kebetulan jalur angkot saya melewati Gang Dolly, lokalisasi paling terkenal di kota Surabaya yang saat itu belum ditutup oleh pemerintah. Kedua teman saya yang suka jahil ini memanfaatkan kesempatan ini untuk ber-“wisata malam”. Begitu mereka memberi nama aktivitas kami setelah kuliah jam terakhir yang memang sudah malam. Mereka berdalih, pura-pura mau mengantar saya menggunakan sepeda motor ke jalan utama. Padahal maksud tersembunyinya adalah mereka ingin melihat gadis-gadis cantik, berdandan rapi dan memesona yang sedang menunggu pelanggan di sepanjang gang itu. Itulah yang mereka sebut dengan wisata malam. Awalnya saya merasa risih, tapi lama-lama ikut menikmati juga, hehehe. Namun, satu hal yang saya kagum dengan mereka, apa yang dilakukan ini hanya isengan saja, sebagai bentuk rileksasi setelah pikiran mumet karena kuliah. Mereka tidak sampai terjerumus, apalagi sampai tega menjerumuskan si frater yang jadi korban kejahilan mereka itu. Sungguh mereka adalah pemuda yang baik dan setia terhadap pasangannya masing-masing. Pacar-pacar mereka saat itu yang adalah adik semester kami, kini telah menjadi istrinya masing-masing. Itulah bukti kesetiaan yang saya maksudkan. Saya menyaksikan bentuk kesetiaan mereka terhadap pasangannya masing-masing dengan mengikuti resepsi pernikahan mereka, untuk Wisnu dan istrinya, sementara pada pernikahan Ardi dan istrinya saya hanya bisa hadir melalui doa.

Masih ada banyak pengalaman yang tidak sempat diceritakan dalam tulisan ini. Biarlah itu semua menjadi kenangan indah bagi kami dan kisah hebat untuk diceritakan kepada anak-anak bagi kedua saudara saya ini.

Dear brothers, it’s our story. I write it just for remembering both of you. I thank God for His gift, that both of you are precious gift from heaven for me. I proud of you, brothers. Many thanks for all we have done and felt during four years in our study in the university. With hundreds love of brotherhood, pentil brothers. bro tilll...Arry.

Malang, 28 Juni 2017
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment