Friday, 30 June 2017

SEBAB ENGKAU BEROLEH KASIH KARUNIA DI HADAPAN ALLAH (Luk 1:30)

Pada 30 Juni 2016 (setahun yang lalu), saya mengadakan perayaan syukuran Kaul Kekal saya bersama keluarga besar di kampung halaman, kampung Kekadori, Paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo, Keuskupan Agung Ende, Flores. Perayaan syukur tersebut diawali dengan Misa Syukur yang dipersembakan oleh Pastor Paroki, RD. Seferinus Meno bersama dua Imam konselebran dan seorang Diakon. Berikut ini adalah catatan kotbah dari RD. Rudolf Eka, romo yang membawakan kotbah mewakili keluarga besar dalam perayaan syukur tersebut.

Kita mendengarkan kisah Injil tentang Allah yang menawarkan Maria untuk bekerja sama, mengambil bagian dalam karya keselamatan. Kisah ini diberi judul oleh Lukas: “Pemberitahuan tentang kelahiran Yesus”. Pengijil Lukas melukiskan dengan jelas tentang waktu-waktunya, tokoh-tokohnya dan lokasi dengan amat detail. Lukas mengawali cerita dengan berkisah tentang kedatangan malaikat Allah, pembawa kabar, Gabriel namanya. Yakni bulan yang keenam, dengan tempat yang jelas yaitu di dusun Nasareth, wilayah Galilea. Kepada orang yang telah ditentukan oleh Allah sejak awal mula, seorang perawan yang saat itu sedang betunangan dengan Yusuf dari keturunan Daud, namanya Maria.

Menurut Lukas, di awal jumpa, oleh malaikat Maria disapa, “salam hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau”. Dan ketika mendengar salam dari malaikat ini, Maria terkejut, kaget. Terkejut bisa karena alasan Maria sedang konsentrasi penuh kepada pekerjaan yang sedang dia geluti. Terkejut bisa saja karena dia sedang fokus dengan pekerjaan rumah yang sedang menyita pikiran dan tenaganya. Terkejut bisa juga karena salam itu berasal dari sosok yang belum dikenalnya, seorang malaikat dari istana suci, surga. Dan Lukas mengungkapkan alasan keterkejutan Maria karena ia tidak mengerti arti salam dari malaikat itu. Karena itulah, setelah terkejut Maria bertanya dalam hatinya, “apa arti salam itu?”

Maria begitu gelap saat itu untuk memahami isi dan maksud di balik salam dari malaikat Tuhan itu. Rupanya malaikat tahu apa yang sedang ada dalam pikiran dan hati Maria, sehingga ia berusaha untuk meneguhkannya, “jangan takut hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.” Dan tanda kasih karunia Allah kepada Maria adalah Allah memakai rahimnya untuk mengandung Putera-Nya Yesus, Sang Almasih Terjanji. Allah memakai Maria bukan karena Maria cantik parasnya, bukan karena Maria elok wajahnya, bukan karena Maria indah berpenampilan dan macam-macam ekspresi fisik, lahiriah lainnya. Allah memakai Maria untuk mengandung Putera-Nya karena sejak awal mulanya Maria telah ada dalam rancangan Allah untuk terlibat dalam karya keselamatan. Rancangan Allah, kudus adanya. Itulah sebabnya Maria tidak ternoda, ia terbebas dari dosa asal. Hidupnya sederhana dan selalu menjaga kesucian jiwa dan raganya. Maria tidak seperti gadis Nasareth pada umumnya atau gadis-gadis sekarang pada khususnya, yang gampang jual diri, gampang dinodai.

“Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” merupakan kata-kata peneguhan dari malaikat kepada Maria. Bagi Maria, malaikat adalah tamu asing yang membawa kabar baik. (Tidak seperti tamu orang sendiri yang sering datang bawa penyakit). Bagi Maria, malaikat adalah tamu dari luar yang membawa kabar sukacita. (Tidak seperti tamu dari satu kampung halaman yang sering datang bawa masalah dan persoalan). Bagi Maria, malaikat adalah tamu dari seberang yang mengajak untuk bekerja sama. (Tidak seperti tamu dari negeri sendiri yang suka datang membawa perpecahan dan konflik). Bagi Maria, malaikat adalah tamu yang tak dikenal yang berjumpa dengan membangun dialog yang sehat dan menyejukkan. (Tidak seperti tamu dari samping rumah yang datang bawa cercaan, hinaan, fitnah). Bagi Maria, malaikat adalah tamu dari surga, penyambung lidah dan maksud Allah apa adanya. (Tidak seperti tamu orang-orang dunia yang suka tambal sulam kisah, kurang tambah berita, mengarang ulang cerita yang membingungkan banyak orang untuk boleh memastikan kebenarannya).

“Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” merupakan pernyataan Allah untuk menegaskan betapa Maria sungguh berkenan di hadirat Allah. Allah tahu sungguh hidup Maria. Dia tidak bercacat, tidak bercela. Seluruh hidupnya terarah dan berserah kepada kuasa penyelenggaraan Allah. Dia seorang yang takut akan Allah. Pengelaman terkejutnya ketika mendengar salam dari malaikat Tuhan yang menyatakan bahwa ia berkenan di hadirat Allah dan bahwa ia akan mengadung dan melahirkan seorang Anak yang akan disebut Anak Allah Yang Maha tinggi merupakan suatu karunia yang terlalu besar bagi dia, seorang gadis sederhana, perempuan yang biasa-biasa saja, hidupnya di desa, tidak mempunyai pengaruh yang berarti di dalam masyarakat. Maria merasa bahwa rahmat itu mungkin lebih pantas untuk para penguasa yang tinggal di istana, kaum terpelajar yang biasa mengajar dan mendidik banyak orang, pada cendik pandai di sekitar kenisah Yerusalem, yang hari-hari baca kitab suci, punya pengaruh besar dalam masyarakat dan memiliki pengikut yang banyak. Namun, Lukas melukiskan bahwa akhirnya Maria tidak bisa menghindar dari jalan yang ditunjuk Tuhan. Maria tidak bisa menolak akan apa yang Allah tawarkan kepada dirinya, karena ia terlanjur mengasihi Tuhan yang ia sembah. Karenanya ia berkata pasrah, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.” Maria sadar benar bahwa ia hanyalah seorang hamba. Ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan, ia hanya melakukan apa yang Tuhan sendiri mau.

“Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” adalah motto yang dipilih fr. Walter pada puncak kaulnya yang dikenal dengan kaul kekal. Kaul kekal bukan puncak dari seluruh pergumulan batinnya. Kaul kekal bukan ujung dari seluruh pencarian diri. Kaul kekal adalah simpul dari kaul-kaul sementara yang kini menjadi dasar yang menentukan keberkanjangannya atas panggilan Allah dalam tugas dan karya pelayanannya selanjutnya.

“Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah”, sebuah motto yang indah sebagai ungkapan keyakinannya bahwa seluruh hidup dan perjuangannya sejak awal dia dipanggil sampai saat ini merupakan hasil dari belaskasih dan karunia Allah sendiri. Dia hanya bisa seperti yang sekarang ini karena Tuhan sendiri yang menghendaki. Rian kecil yang dulu biasa-biasa saja, tidak terlalu diperhitungkan di dalam rumah, di tengah kampung halaman, kini sudah berubah menjadi seorang Walter yang pantas dibanggakan. Rian kecil dengan segala masa lalunya, yang sempat menghilang dari tengah keluarga, dari tanah tumpah darah, kini hadir kembali sebagai Walter baru yang siap diutus. Perutusan di tengah dunia yang penuh dengan tantangan, yang sarat dengan persoalan dan masalah teristimewa di dunia pendidikan, pembinaan kaum muda. Senjata anda tidak lain adalah Firman Allah dan spiritualitas pencetus, pengembang devosi BHK yang kini menjadi kongregasi besar dan berpengaruh bagi dunia.

Belajar dari pencetus biara anda yang selalu gelisah akan perkembangan iman tunas-tunas muda, yang selalu prihatin dengan hidup rohani orang muda kristiani, yang kemudian memandang pendidikan iman dalam sekolah menjadi sesuatu yang pantas dan penting, urgent dan harus disikapi agar semakin banyak generasi muda yang dibawa lebih dekat dengan Yesus, Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup. Tugas ini juga telah dilakukan Maria yang dalam kesederhanaannya, yang mempunyai hubungan batin begitu mendalam dengan Puteranya, dengan segala kesederhanaan mengantar kita semua kepada sumber kekayaan, Hati Yesus sendiri. Di sanalah kita mengalami sukacita dan kegembiraan hidup dan dari sana kita mengerti sungguh bahwa cinta kasih yang telah Yesus tunjukkan, ketaatan yang telah Yesus jalankan, ingkar diri yang telah Ia hayati, kesederhanaan yang telah Ia lakoni, semuanya demi kebaikan dan keselamatan kita. Kalau Tuhan sendiri lebih dahulu mengasihi kita, menjadikan kita orang-orang perkenaan-Nya dan memakai kita sebagai alat keselamatan-Nya, baiklah kita juga melakukannya untuk keselamatan sesama kita. Tidak usah jauh-jauh, mulailah dari dalam rumah.

Ema Rian, kau se’a ‘ka ndeka wozo ndena, kau sadho ‘ka ndeka wozo erha. Ema, ndena ko wozo pasti zatu ne’e watu-watu lo’o. Mbana kodho mozo-mozo wi ma’e soi sedho. Mbana ma’e bhaze zonggo, wi ma’e sidi joro. Mbana sai ri’a-ri’a, mbana ndeka rhaza masa, pao ndeka wesa sia. Kema si dhu jeka, tau si dhu mbeja. Kema ata ngere ine ema na’u nena, peze si so merhe, tau perha ae seru ko’o Ngga’e dewa. Pata si so zewa, tau nunga ae ngasi ko’o Yesus Anak Allah. Ema Rian, mozo sa pasa ozo na’u kami se mbeja, sepo jaga ri’a-ri’a, rhaza ata kita pizi tau mbana. Amin.

Malang, 30 Juni 2017
Ditulis kembali oleh fr. Walter
Readmore → SEBAB ENGKAU BEROLEH KASIH KARUNIA DI HADAPAN ALLAH (Luk 1:30)

Wednesday, 28 June 2017

Kisah Kasih di Bangku Kuliah

Ardi - Arry - Wisnu
Pada 2010, saya pindah komunitas dari Malang ke Surabaya dan mendapat tugas perutusan studi. Pada awalnya saya diberi tanggung jawab untuk kuliah mengambil jurusan pendidikan bahasa Jerman di Universitas Surabaya (Unesa). Bersama kedua frater yang lain, kami mengikuti tes masuk. Kedua frater itu diterima di jurusan masing-masing, sementara saya tidak. Oleh karena itu, setelah berdiskusi dengan pimpinan komunitas setempat, saya diputuskan untuk kuliah di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Tulisan ini adalah uraian dari berbagai pengalaman dan hal-hal menarik yang saya alami selama status mahasiswa menjadi salah satu bagian dari sejarah hidup saya.

Mahasisa Baru
Sebagaimana lazimnya, proses menjadi anak kuliah akan didahului dengan masa orientasi sebagai persiapan memasuki dunia kampus. Saya pun melaluinya. Pada waktu itu, masa-masa pengenalan ini disebut dengan masa orientasi mamasiswa yang disingkat MOM. Berlangsung selama satu minggu dengan pembagiannya demikian, Senin-Rabu adalah MOM tingkat universitas dan Kamis-Sabtu adalah MOM tingkat fakultas yang ditutup dengan malam inagurasi di akhir pekan.

Masih segar dalam ingatan saya, selama masa-masa itu, saya berangkat pagi, pulang sudah malam. Kegiatan MOM dilasanakan mulai pukul 06.00 dan berakhir pada pukul 18.00. Menggunakan angkot dengan durasi perjalanan sekitar 45 menit, saya harus berangkat dari rumah pukul 05.00 agar tidak terlambat dan luput dari hukuman. Tiba lagi di rumah pukul 19.00-20.00. Sudah malam, lapar dan sangat melelahkan. Selanjutnya saya harus membuat persiapan lagi untuk kegiatan MOM hari berikutnya. Begitu terus selama sepekan masa-masa pengenalan kampus itu.

Selain merasa lelah, ada hal lain juga yang saya alami. Untuk masalah disiplin, tekun dan taat pada aturan, itu sama sekali tidak ada masalah. Di biara hal-hal begitu sudah menjadi bagian dari pola hidup. Persoalannya ada pada diri saya. Saya lulus SMA tahun 2004. Sementara 99 % maba ini adalah anak-anak yang baru lulus SMA. Itu berarti selisih usai mereka rata-rata 6-7 tahun di bawah saya. Saya berasal dari Flores dan berada di antara sebagian besar orang Jawa dengan warna kulit, “kondisi” rambut, serta dialek bahasa dan aksen berbicara yang jauh berbeda dengan mereka. Masih ada perbedaan-perbedaan lain yang tidak diuraikan di sini. Bisa dibayangkan betapa susahnya saya beradaptasi. Namun, karena ini sudah menjadi konsekuensi, tuntutan situasi dan demi tugas perutusan, saya berusaha menyesuaikan diri. Sampai akhirnya saya mampu melewati seluruh proses MOM ini dengan. Begitulah tujuan lain dari kegiatan MOM ini, selain untuk mengenal kampus dan teman-teman seangkatan yang dua orang di antara mereka nantinya akan begitu penting bagi saya sebagai mahasiswa selama kami menjadi bagian dari civitas kampus itu.

Bersaudara dalam Perbedaan
Selama mengikuti kegiatan MOM, masa orientasi mahasiswa, saya mengenal dan dikenal oleh sekian banyak orang, terutama mereka yang satu kelompok dan satu jurusan. Di antara yang sekian banyak ini, Ardi adalah salah satunya. Kami satu kelompok selama masa orientasi itu, juga satu jurusan, sama-sama mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris. Apa karena kebetulan atau memang sudah diatur oleh Yang Mahakuasa, kebersamaan kami berlanjut sampai kami lulus kuliah. Selain dengan Ardi, saya juga berkawan karib dengan seorang mahasiswa lagi, namanya Wisnu. Berbeda dengan Ardi yang sudah sejak masa orientasi, bersama Wisnu, kami mulai berteman dekat sejak semester 2. Karena kami dekat, maka temanku adalah teman Ardi, demikian pun juga, teman Ardi adalah teman Wisnu juga. Jadilah saya memiliki dua teman dekat selama menjadi mahasiswa. Dua teman yang boleh saya sebut sebagai konfraters, sesama saudara. Keberadaan tulisan ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh niat saya untuk mengisahkan kembali cerita tentang kami, saya dan kedua saudara saya ini di masa-masa indah tatkala status mahasiswa disematkan pada pundak kami. Seperti berikut ini ceritanya.

Saya, Ardi dan Wisnu memiliki embelan di depan nama panggilan kami masing-masing, yaitu till, potongan dari kata pentil yang disisip lagi dengan kata bro. Jadi nama panggilan di antara kami adalah bro till Arry (nama panggilan saya waktu kuliah dulu), bro till Ardi dan bro till Wisnu. Pada awalnya saya tidak tahu apa arti kata pentil yang dimaksudkan. Yang saya pahami kata pentil itu berarti benda kecil yang biasa dipakai untuk menambah angin pada ban kendaraan atau bola. Tapi apa hubungannya dengan nama panggilan kami? Hal ini membuat saya bingung. Lalu saya mencari tahu. Bertanya langsung ke mereka, saya tidak akan mendapat penjelasan yang jujur. Di tengah kebingungan itu, saya mencoba bertanya pada seorang teman mahasiswi. Bukan jawaban yang saya dapat, tapi malah saya dilabrak. Dengan ekspresi yang paling jelek sedunia (yang ini saya tambah), dia bertanya dari mana saya tahu kata itu. Saya malah tambah bingung. Saya memang sungguh tidak mengerti arti kata itu. Tetapi saya paham bahwa ada yang tidak beres dengan kata ini dan saya telah bertanya pada nara sumber yang salah. Betapa polos dan lugunya saya waktu itu. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan nara sumber yang tidak tega dengan keluguan saya. Dari padanya saya mendapat informasi bahwa arti dari kata yang dimaksudkan itu bukan yang ada dalam pemahaman saya tetapi kata pentil yang dimaksudkan oleh kedua teman saya itu berarti (maaf) puting susu. Masyaallah, ampun Tuhan. Ternyata saya di-kerjain. Begitulah cerita tentang embel-embel nama panggilan kami. Sebagai informasi tambahan, sejak saat itu sampai sekarang kata itu tetap ada di depan nama kami, walaupun saya sudah tahu arti sebenarnya. wkwkwk. ***

Kedua saudara saya ini adalah Muslim yang taat dan saleh. Tak pernah sekali pun saya melihat mereka lalai dalam menjalankan sholat. Apalagi puasa penuh di bulan Ramadan. Saya sangat kagum kepada mereka. Bahkan sebagai seorang frater yang memiliki waktu doa yang disiplin dan teratur di biara, saya masih kalah dengan mereka. Setiap kali suara adzan berkumandang, keduanya sesegera mungkin beranjak ke masjid kampus, meninggalkan apa saja yang sedang dilakukan. Bahkan jika kami sedang kerja tugas di biara, ruangan belajar pun bisa dijadikan tempat bagi mereka untuk sholat. Berkaitan dengan ini, saya masih ingat pada masa-masa awal kuliah dulu, saat ruangan kuliah kami masih dekat dengan masjid kampus. Waktu kedua teman saya ini menjalankan sholat, saya pasti berada di pelataran masjid, bertugas menjaga tas-tas mereka, juga milik teman-teman lain terutama yang sekelas dengan kami. Hampir setiap hari di semester-semester awal perkuliahan kami. Kebiasaan ini ternyata menarik perhatian teman-teman sesama Katolik. Sampai ada yang menyeletuk, “jangan-jangan frater ini sudah mualaf?” Yang lain bahkan bertanya, “ter, kamu itu frater atau ustad sih, kok hari-hari ada di masjid?” Parahnya lagi, reaksi teman-teman Katolik yang tentunya hanya bergurau itu didengar oleh dua teman Muslim saya tadi. Jadilah saya sering dipanggil ustad oleh mereka. Tentu panggilan bro till (pentill) tidak hilang begitu saja. wkwkwk. ***

Zaman saya kuliah dulu ada tiga akronim yang cukup populer untuk menggambar tiga tipe mahasiswa, yaitu kupu-kupu, kunang-kunang dan kura-kura. Kupu-kupu adalah singkatan dari kuliah pulang-kuliah pulang, untuk menggambarkan tipe mahasiswa yang selalu pulang sehabis kuliah. Mahasiswa jenis ini tidak tertarik dengan urusan lain di kampus selain untuk mengikuti perkuliahan. Kunang-kunang adalah singkatan dari kuliah nangkring-kuliah nangkring, untuk menggambarkan tipe mahasiswa yang kerjanya hanya kuliah dan nangkring apabila ke kampus. Mahasiswa jenis ini tidak langsung pulang selepas kuliah, tetapi duduk-duduk dulu bersama gengnya, lantas mengobrol atau bersenda gurau bersama rekan-rekannya. Sementara kura-kura adalah singkatan dari kuliah rapat-kuliah rapat, untuk menggambarkan tipe mahasiswa yang kerjanya rapat melulu sehabis kuliah. Mahasiswa jenis ini adalah aktivis kampus yang aktif di berbagai organisasi dalam lingkungan universitas. Bagaimana dengan kami bertiga?

Kami adalah tipe mahasiswa dengan label tiga akronim itu. Kami bisa menjadi apa saja tergantung situasinya. Betipe kupu-kupu apabila ada urusan penting di rumah kami masing-masing yang mendesak kami harus segera pulang sehabis kuliah. Di luar itu kami akan menjadi mahasiswa dengan dua tipe yang lain. Menjadi mahasiswa kunang-kunang apabila tidak ada urusan penting yang memanggil kami segera kembali ke rumah atau tidak ada kegiatan organisasi yang menuntut kami untuk berkumpul di markas masing-masing. Kesempatan ini, seperti mahasiswa yang lain, kami akan menghabiskan waktu dengan duduk-duduk saja sambil bersenda gurau. Tempat favorit kami adalah lobi utama kampus. Menjadi favorit karena tempat itu menjadi akses utama bagi civitas kampus saat pergi atau pulang kuliah, dengan demikian kami memiliki banyak kesempatan untuk melihat orang-orang itu, terutama mahasiswi-mahasiswi cantik, hehehe. Saya masih ingat, salah satu kebiasaan dua saudara saya ini, kalau ada mahasiswi cantik yang lewat sendirian, mereka akan mengikuti gadis itu dengan pandangan mata lelaki normal sampai yang bersangkutan menjauh, kemudian mereka akan saling tatap dan bisik-bisik dengan antusias, mungkin berkomentar tentang gadis itu. Akan semakin seru jika saya nimbrung, memberi bumbu. Tapi repotnya kalau saya tidak ikut dan malah lebih tertarik memperhatikan tingkah laku mereka berdua, saat itulah saya akan berkomentar, “mulai sudah, otaknya mulai kotor”. Bisa ditebak selanjutnya yang terjadi kami akan ngakak bareng. Sangat menyenangkan. Suasana persaudaraan sungguh terasa. (Sorry brothers, bongkar rahasia nih) wkwkwk.

Sementara menjadi mahasiswa dengan tipe kura-kura memberi peluang bagi kami keluar dari diri dan kelompok untuk terlibat dengan orang lain. Kami belajar bersosialisasi, berorganisasi, dan manajemen waktu. Kesempatan ini memberi ruang dan waktu bagi kami untuk mengembangkan diri. Karena kami sadar bahwa ilmu yang diperoleh di ruang kuliah tidak cukup untuk bekal masa depan kami. Kami perlu asupan tambahan untuk memperkuat karakter kami agar siap menghadapi tuntutan dunia kerja kelak. Untuk itulah kami aktif di berbagai organisasi masing-masing. Ardi dan Wisnu menjadi aktivis di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sedangkan saya aktif di UKM Kerohanian Katolik sesuai identitas saya sebagai “ustad” Katolik. hehehe ***

Siapa saja yang berjuang bersama saya di tempat perutusan, dia adalah konfraters saya, sesama saudara yang turut mendukung panggilan hidup saya. Siapa pun dia, bahkan yang bukan saudara sepanggilan. Spirit inilah yang saya bawa selalu dalam relasi bersama kedua teman saya itu. Memang mereka awam dan berbeda dalam berbagai aspek, tetapi mereka begitu memahami kehidupan saya. Saya sering bercerita, memberi pemahaman atau menjelaskan apa saja yang ingin mereka ketahui tentang kehidupan di biara. Kadang-kadang kami mengerjakan tugas dan belajar bersama di biara. Kalau bertepatan dengan waktu makan di biara, para frater yang lain juga welcome, mengajak mereka ikut makan bersama. Kami tidak merasakan ada sekat apa pun. Hal ini terjadi lantaran kami saling terbuka, saling menerima apa saja yang menjadi perbedaan kami. Bagi kami perbedaan adalah kekuatan untuk maju bersama. Saya bersyukur bisa bertemu dan berkawan karib dengan kedua orang itu. Saya ingat pertama kali saya menjelaskan kepada si Ardi bahwa saya adalah seorang frater (biarawan Katolik yang tidak menikah). Dia terheran-heran. Berkali-kali dia bertanya, memastikan, apakah sungguh saya tidak menikah. Wajah polosnya seketika bungkam saat saya bilang, “itu panggilan hidupku, bro, kamu tidak akan bisa memahami karena kamu tidak mengalaminya”. Semenjak itu kami semakin akrab sampai bergabung lagi si Wisnu di semester berikutnya. Sekali lagi saya sangat bersyukur menjalani perutusan di kampus ini dan bertemu dengan kedua saudara itu. Mereka selalu mendukung saya. Apa pun tingkah laku saya yang tidak sesuai sebagai seorang frater, mereka akan mengomentarinya. Salah satu yang sering terjadi misalnya, mereka rusuh apabila melihat saya duduk berdua dengan seorang cewek. Begini yang sering mereka katakan, “kamu itu bro, katanya nggak menikah, tapi berduaan terus sama cewek”. Atau pada kesempatan lain mereka berkomentar, “ah kamu bro, hari ini cewek lain, besok ganti lagi, kamu itu frater atau playboy sih, hahahaha.” Itu adalah bentuk perhatian yang saya dapat dari mereka. Mereka ikut bertanggung jawab dan menjaga panggilan hidup saya.
 
Selain memberi dukungan, kadang otak jahil mereka cukup kreatif menantang saya yang memilih hidup tidak menikah. Saya ingat pada salah satu semester, kami terpaksa mengambil waktu kuliah pada sore hari karena kelas pagi sudah penuh. Itu adalah semester-semester awal. Selama satu setengah tahun atau tiga semester awal, saya masih menggunakan angkot untuk pergi-pulang kuliah. Kebetulan jalur angkot saya melewati Gang Dolly, lokalisasi paling terkenal di kota Surabaya yang saat itu belum ditutup oleh pemerintah. Kedua teman saya yang suka jahil ini memanfaatkan kesempatan ini untuk ber-“wisata malam”. Begitu mereka memberi nama aktivitas kami setelah kuliah jam terakhir yang memang sudah malam. Mereka berdalih, pura-pura mau mengantar saya menggunakan sepeda motor ke jalan utama. Padahal maksud tersembunyinya adalah mereka ingin melihat gadis-gadis cantik, berdandan rapi dan memesona yang sedang menunggu pelanggan di sepanjang gang itu. Itulah yang mereka sebut dengan wisata malam. Awalnya saya merasa risih, tapi lama-lama ikut menikmati juga, hehehe. Namun, satu hal yang saya kagum dengan mereka, apa yang dilakukan ini hanya isengan saja, sebagai bentuk rileksasi setelah pikiran mumet karena kuliah. Mereka tidak sampai terjerumus, apalagi sampai tega menjerumuskan si frater yang jadi korban kejahilan mereka itu. Sungguh mereka adalah pemuda yang baik dan setia terhadap pasangannya masing-masing. Pacar-pacar mereka saat itu yang adalah adik semester kami, kini telah menjadi istrinya masing-masing. Itulah bukti kesetiaan yang saya maksudkan. Saya menyaksikan bentuk kesetiaan mereka terhadap pasangannya masing-masing dengan mengikuti resepsi pernikahan mereka, untuk Wisnu dan istrinya, sementara pada pernikahan Ardi dan istrinya saya hanya bisa hadir melalui doa.

Masih ada banyak pengalaman yang tidak sempat diceritakan dalam tulisan ini. Biarlah itu semua menjadi kenangan indah bagi kami dan kisah hebat untuk diceritakan kepada anak-anak bagi kedua saudara saya ini.

Dear brothers, it’s our story. I write it just for remembering both of you. I thank God for His gift, that both of you are precious gift from heaven for me. I proud of you, brothers. Many thanks for all we have done and felt during four years in our study in the university. With hundreds love of brotherhood, pentil brothers. bro tilll...Arry.

Malang, 28 Juni 2017
Readmore → Kisah Kasih di Bangku Kuliah

Wednesday, 21 June 2017

Darah Seorang Kafir

Ruangan itu terletak di lantai dua. Seingat saya, baru sekitar 3 bulanan aktivitas itu dilaksanakan dalam ruangan baru yang dilengkapi AC ini. Sebelumnya terjadi di ruangan utama, terletak di bagian depan, lantai satu gedung itu. Ruangan berukuran kira-kira 20x20 meter itu penuh dengan hiruk pikuk petugas yang sibuk mengurusi pekerjaannya masing-masing. Di salah satu sisi ruangan, duduk berderetan sekelompok orang yang sedang menunggu giliran untuk dipanggil. Mereka akan menjalani pemeriksaan sesuai standar prosedur yang berlaku. Pada salah satu dinding ruangan itu terpampang selembar banner berukuran besar dengan tulisan ini: “Setetes darah anda menghapuskan air mata duka dan menjadi harapan mereka”. Orang-orang yang sedang antre itu adalah mereka yang terpanggil untuk menerjemahkan makna kata-kata pada banner tersebut dalam praksis hidup mereka. Tempat itu adalah sebuah ruangan dari Unit Transfusi Darah PMI Kota Malang.

Siang itu, Johan, seorang pemuda kristiani berusia 33 tahun berada di antara antrean panjang orang-orang itu. Ia duduk di sebelah seorang bapak berprofesi sebagai seorang tentara. Mereka mengobrol, berbagi cerita tentang aksi donor darah yang telah mereka jalani selama ini.

“Kali ini, saya donor darah yang ke-67. Saya rutin ikut ambil bagian dalam aksi donor darah ini sejak SMA dulu. Ada satu kejadian yang tak terduga-duga. Suatu kali, tiba-tiba saya mendapat surat ucapan terima kasih dari seseorang yang mengaku selamat dari masa kritisnya karena kekurangan darah berkat transfusi darah yang saya donorkan di tempat ini. Rupanya petugas PMI sini menempelkan identitas dan alamat saya pada kantong darah yang didonorkan. Sehingga orang itu tahu, lalu memngirimkan surat apresiasi itu kepada saya. Saya terkejut dan bersyukur sekali karena hidup saya berarti bagi orang lain melalui aksi sederhana seperti itu. Saya merasa hidup saya menjadi lebih bermakna. Ada perasaan bahagia di dalam diri saya. Hal ini juga yang mendorong saya tetap setia dengan aksi donor darah ini hingga sekarang”, sharing bapak itu.

Sebuah kisah sederhana namun sangat inspiratif. Demikian kesan Yohanes, nama baptis pemuda yang disapa Johan itu. Sharing si bapak itu mengingatkan dia pada sebuah pengalaman yang tidak bisa dilupakan dalam hidupnya hingga hari ini. Sebuah pengalaman yang juga berkisah tentang imbalan yang diterimanya buah aksi kemanusiaan bernama donor darah yang hingga hari ini juga menjadi panggilan hidupnya. Dia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada orang lain. Sementara panggilan hatinya selalu mendorong dirinya untuk menghidupi semangat berbagi. Berangkat dari inspirasi yang ditimba dari sebuah cerita inspiratif yang dia baca di media sosial, dia pun menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahkan kepadanya sesuatu yang sangat berharga yaitu darahnya. Dia bisa menggunakan darahnya untuk membantu orang lain. Semenjak itu dia mulai terbiasa dengan aksi donor darah. Selain sebagai bagian dari gaya hidup yang menyehatkan, baginya donor darah juga merupakan sebuah perbuatan kasih yang tidak bisa digantikan dengan apapun untuk menolong sesama yang berada di ambang harapan karena kasus kekurangan darah. Falsafah hidupnya amat sederhana, apa pun yang dia miliki jika itu memberi arti bagi kemaslahatan hidup sesamanya, dia akan melakukannnya, sekecil dan sesederhana apa pun itu. Kebijaksanaan hidup jejaka berdarah Flores ini berbuah kisah inpiratif berikut ini.

Suatu ketika, masih segar dalam ingatan Johan, tepat di hari ke-20 di bulan April 2009, peristiwa yang sungguh berkesan dalam hidupnya itu terjadi. Pada perayaan hari ulang tahun kelahirannya yang ke-25, tiba-tiba sebuah nada panggilan berdering di HP miliknya. Penelpon dengan nomor baru itu tidak dikenalnya. Dengan ragu-ragu dia menerima panggilan itu. Suara berat seorang bapak di ujung selulernya langsung terdengar tanpa menunggu nada “halo” terucap dari bibir Johan. “Nak Yohanes yah? Terima kasih nak, kamu telah menyelamatkan hidup bapak. Bapak sungguh berterima kasih, nak. Nanti kalau ada kiriman yang datang ke alamat nak Yohanes, diterima yah. Itu kiriman sebagai ucapan terima kasih dari bapak”. Handphone dimatikan. Hanya itu pembicaraan melalui alat komunikasi produk zaman modern itu. Lebih tepatnya hanya seperti itu informasi singkat dari pemilik nomor tak dikenal tersebut. Johan bingung. Apa maksud ungkapan “kamu telah menyelamatkan hidup bapak” dalam komunikasi via telpon seluler barusan. Namun karena Johan adalah seorang pemuda yang berkepribadian sederhana, dia tidak tertarik untuk mencari tahu.

Sorenya, pada hari itu juga, apa yang dikatakan melalui telpon pagi tadi menjadi kenyataan. Sebuah bingkisan dalam balutan kertas kado yang indah tiba di alamat, dimana Johan tinggal. Kiriman itu diterima oleh putri pemilik kos yang diam-diam menaruh hati pada Johan. Dia menyerahkan bingkisan itu kepada Johan dengan kesal. Mungkin dia berpikir, itu hadiah ulang tahun dari kekasih Johan yang bekerja di Kalimantan. Ternyata itu adalah kiriman dari seorang bapak yang mengaku hidupnya telah diselamatkan oleh Johan. Dengan agak ragu-ragu dia membuka, lantas membaca sepucuk surat yang terselip di dalam bingkisan itu.

Nak Yohanes yang terkasih. Mungkin nak Yohanes bertanya-tanya, apa maksud kata-kata bapak dalam telpon tadi pagi. Melaui surat ini, bapak ingin menjelaskan duduk persoalannya. Begini nak, dua pekan yang lalu, bapak dirawat di rumah sakit. Kondisi bapak kritis karena kekurangan darah. Jika tidak segera melakukan transfusi darah, mungkin nyawa bapak tidak bisa tertolong. Pontang-panting pihak rumah sakit bersama keluarga mencari darah. Tak seorang pun anggota keluarga dan kerabat bapak yang bisa membantu karena berbagai alasan medis. Hanya satu-satunya yang cocok dan bisa ditransfusi yaitu kantong darah yang ada di Unit Transfusi Darah PMI Kota Malang. Itulah kantong darah dari nak Yohanes. Sengaja putri bapak mencatat identitasmu yang tertera di kantong itu karena dia sangat yakin pemilik darah itu adalah harapan terakhir keselamatan bapak. Dan memang demikian nak. Setelah melakukan transfusi darah dari kantong satu-satunya itu, bapak sekarang sudah sehat kembali. Bapak berhutang nyawa kepadamu nak. Bapak mengucapkan berlimpah-limpah terima kasih.

Dalam amplop itu, bapak juga menyertakan sejumlah uang. Itu bukan untuk membeli darahmu, nak. Bukan untuk itu karena bapak tahu bahwa kamu tidak menjual darah tetapi dengan suka rela mendonorkan darahmu untuk sesama. Bapak ingin uang itu nak Yohanes pakai untuk kebutuhan pribadi, tetapi kalau kurang berkenan, kamu bisa pakai untuk lebih banyak lagi berbuat kasih kepada sesamamu, dalam bentuk apapun. Bantu bapak untuk menebus nyawa bapak dengan perbuatan cinta kasih yang kamu lakukan.

Untuk baju, itu adalah hadiah ulang tahun buat nak Yohanes. Bapak sengaja menghadiahi kamu kemeja itu karena bapak tahu nak Yohanes adalah seorang kristiani. Dalam hidup selama ini, bapak adalah seseorang yang sangat anti kristiani. Bapak selalu memberi ceramah-ceramah yang mengajak umat untuk membenci orang-orang kristiani. Bapak selalu merasuki umat bahwa orang-orang kristian adalah kafir. Bapak terlibat aktif dalam berbagai aksi intoleran terhadap umat kristiani selama ini. Namun, peristiwa dua minggu yang lalu membuat bapak sadar, nak. Bapak seolah-olah mendapat peingatan dari musuh yang bapak benci selama ini. Bukan aksi balas dendam, tetapi kejahatan bapak dibalas dengan kasih. Sungguh ajaran Tuhanmu, kamu hayati sungguh-sungguh dalam hidupmu. Bapak yang mengalaminya sendiri. Darahmu, nak, darah nak Yohanes, darah seorang kristiani yang bapak tahu selama ini sebagai orang kafir, telah menyelamat bapak dari ancaman maut. Bapak sungguh menyesal, nak. Bapak ingin bertobat. Bapak mohon bantuan nak Yohanes untuk mendoakan bapak. Kemeja pemberian bapak dipakai yah, nak. Bapak sangat berharap, saat kamu ke gereja mengikuti ibadah agamamu dan memakai baju itu, kamu selalu ingat bapak, lalu memohon pertobatan bagi orang tua yang jahat ini. Itu saja yang ingin bapak sampaikan. Sekali lagi, terima kasih atas kebaikanmu ya, nak. Bapak akan selalu ingat di sepanjang sisa hidup bapak. Bapak sekeluarga mengucapkan selamat ulang tahun untuk nak Yohanes. Semoga sehat selalu dan panjang umur yah. Oyah, yang terakhir, bapak juga sertakan titipan salam dari Fitri, putri semata wayang bapak untuk seorang pemuda berhati mulia yang telah menyelamatkan ayahnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat mengagumi pemuda dermawan seperti nak Yohanes, apapun latarbelakang suku dan agamanya. Begitu katanya”.

Surat itu tanpa tanda tangan, nama dan alamat pengirimnya. Lagi-lagi Johan tidak mempersoalkan hal itu dan tidak ada niat mencari tahu sampai hari ini. Yang paling penting bagi dia apa yang menjadi penghayatan hidupnya sebagai pendonor darah yang aktif selama ini berguna bagi orang lain. Cerita sang bapak, sesama pendonor darah yang sedang antre di ruangan itu, mengembalikan ingatannya pada momen itu. Dia pun merasa hidupnya mempunyai arti bagi orang lain.

“Yohanes A. Mosa”, panggil petugas, membuyarkan lamunan Johan yang senyum-senyum sendiri karena mengingat kembali wajah si gadis manis, putri pemilik kos, tempat tinggalnya dulu. Dia kesal karena melihat ekspresi wajah Johan yang tersipu malu lantaran kata-kata pujian di penghujung surat itu.

Kota Bunga, Malang, Juni 2017
Walter Arryano BHK
Readmore → Darah Seorang Kafir