Perkembangan
dunia sekarang ini sangat luar biasa. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
berbagai bidang kehidupan manusia sangat terasa. Kemajuan di bidang-bidang
tersebut mendukung kehidupan manusia dalam berktivitas. Kita patut bersyukur
karena melalui orang-orang hebat yang diberi kemampuan lebih oleh Tuhan, hidup
kita semakin dipermudah. Mereka melakukan percobaan dan penelitian, membuat
berbagai penemuan di bidang yang digelutinya masing-masing. Buah karya dan
kerja keras mereka memberi kontribusi bagi kemajuan dan perkembangan manusia di
berbagai aspek kehidupannya.
Kemajuan dalam
bidang teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi indikator pesatnya
perkembangan dunia dewasa ini mendapat porsi yang paling banyak disoroti. Pada
generasi kini, siapa yang tidak mengenal internet, handphone atau media sosial? Anak-anak usia dini, remaja, orang
muda hingga generasi uzur pun telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kemajuan kedua bidang ini entah sebagai penyedia maupun sebagai pengguna. Teknologi
informasi dan komunikasi memberi andil besar bagi kemajuan pola kehidupan
manusia abad ini. Internet misalnya, sangat membantu manusia dalam menyediakan
berbagai sumber informasi. Handphone
juga demikian, sebagai sarana komunikasi yang cepat, tepat, efektif dan
efisien, alat komunikasi ini sangat menunjang kehidupan manusia di era
globalisasi ini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi
sumbangsih yang signifikan bagi pertumbuhan peradaban manusia masa kini.
Namun,
sebagaimana pada bidang-bidang lainnya, kemajuan dalam kedua bidang ini juga
memberi dampak negatif bagi kehidupan manusia. Yang paling tampak adalah
problema dalam komunikasi dan berelasi. Kita menjumpai dalam kehidupan berumah
tangga dewasa ini, dinamika relasi antar anggota keluarga sangat
memprihatinkan. Kita menemukan pribadi-pribadi yang egoistis dan individualistis
pada rumah tangga-rumah tangga modern ini. Komunikasi antar anggota keluarga
menjadi kurang intens atau bahkan macet lantaran setiap orang sibuk dengan
perantinya masing-masing. Berselancar, bermedia sosial dan ber-chatting ria adalah beberapa activitas,
produk perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang paling digandrungi orang-orang dewasa ini. Akibatnya tampak
jelas pada kehilangan kehangatan dalam keluarga. Anggota yang satu menjadi
asing bagi yang lain. Mereka tidak lagi saling memperhatikan karena objek perhatiannya
adalah teman obrolannya yang berada di luar rumah atau bahkan di belahan bumi
yang lain. Komunikasi dan relasi antar anggota keluarga kehilangan arah dan
tanpa gairah. Semangat kepedulian antar mereka hampir tidak ditemukan lagi. Orang
tua sakit, anak-anak yang mengalami kesulitan tertentu bukan menjadi persoalan
bersama dalam keluarga. Di dalam rumah saja sudah begitu, apalagi dengan
tetangga, rekan kerja atau di ruang lingkup yang lebih luas, misalnya dalam
hidup bermasyarakat. Semangat kepedulian menjadi kosa kata yang sulit ditemukan
dalam praksis hidup manusia zaman ini.
Dampak yang
lebih luas adalah terbentuklah keluarga-keluarga yang tertutup, cenderung
individualistis dan tidak peduli dengan orang lain, egoistis dan hanya
mementingkan diri dan keluarganya sendiri. Falsafah lama yang mengatakan bahwa
tetangga adalah anggota keluarga terdekat, yang selalu menjadi orang pertama
dalam situasi genting sepertinya tidak relevan lagi, tidak bergema lagi bagi
kehidupan keluarga-keluarga dewasa ini. Urusan keluargaku adalah urusanku. Bukan
menjadi urusanmu atau urusan kita. Kesulitan dan penderitaan yang dialami orang
lain bukan menjadi tanggung jawabku. Kehidupan sosial kemasyarakat sekarang ini
mengalami degradasi nilai yang memprihatinkan.
Sebagai pemeluk
iman kristiani kita turut prihatin atas kondisi ini. Kita hendaknya tidak ikut
terlarut dalam kemunduran nilai-nilai yang merugikan tatanan hidup bersama ini.
Iman kita dengan jelas mengajarkan tentang kepedulian. Dokumen Konsili Vatikan
II, Gaudium et Spes menegaskan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga. Ini berarti Gereja yang diwakili para Bapa Konsili mengajak
umatnya untuk ikut bergembira dan menderita bersama dunia. Gereja mengundang
para pengikutnya untuk berpeduli dengan sesamanya, terutama mereka yang miskin
dan menderita.
Sejalan dengan itu,
kitab juga suci juga mencatat. Injil Matius 22:39 mengatakan, “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Tuhan menghendaki bahwa sesama kita ditempatkan sederajat dengan kita.
Mengasihi sesama, artinya sama dengan kita mengasihi diri kita sendiri. Siapa
itu sesama? Kitab suci mengisahkan sebuah narasi yang lengkap tentang sesama
melalui perumpaman orang Samaria yang
murah hati. Ini adalah sebuah perumpamaan yang diajarkan
oleh Yesus kepada murid-murid-Nya yang tertulis di dalam Injil Lukas 10:25-37. Perumpamaan
ini menggambarkan cinta kasih yang tidak terbatas, bahkan cinta kasih kepada
orang yang membenci sekalipun. Tuhan mengajarkan cinta kasih di atas segalanya.
Ini adalah kata lain dari peduli.
Selanjutnya kita
juga bisa belajar peduli dari Bunda Maria dengan gelar Bunda Hati Kudus. Konstitusi
Kongregasi Frater BHK, artikel 45 mengatakan bahwa Maria mempunyai arti istimewa
dalam hidup kita. Gelar yang kita gunakan untuk menyapanya memperlihatkan
keterikatan erat antara Maria dengan puteranya. Maria adalah teladan bagi orang
yang mengikuti Yesus dalam cinta kasih-Nya yang bersifat mengabdi. Bagaimana
kita belajar peduli kepada sesama dan menghidupinya seturut inspirasi sang
Bunda yang menjadi nama sekaligus pelindung utama Kongregasi Frater BHK? Ada tokoh
berikut ini angkat bicara.
Bentuk-bentuk
kepedulian yang diteladankan oleh Maria dengan gelar Bunda Hati Kudus telah
dihidupi oleh para frater yang bernaung di bawah lindungannya dari generasi ke
generasi. Fr. M. Antonius Fernandez BHK adalah salah seorang di antaranya.
Menurut frater yang sudah 64 tahun hidup membiara ini, agar kita bisa
menghidupi semangat kepeduliaan yang diispirasi oleh Maria Bunda Hati Kudus,
pertama-tama kita hendaknya memiliki relasi yang dekat dan akrab dengan sang
Bunda. Membangun kedekatan bersama Bunda Maria dapat terwujud andaikata dalam
diri kita telah memiliki nilai-nilai kristiani sebagai landasan dasarnya. “Orang
tua membiasakan kami dari kecil untuk selalu berdoa rosario bersama. Kami
sekeluarga memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Kebiasaan ini membuat
saya memiliki kedekatan dengan Bunda Maria, apalagi saya pernah belajar di
Seminari Menengah yang sangat menekankan hidup doa dan devosi-devosi kepada
Bunda Maria. Kebiasaan yang baik ini sangat membantu saya dalam membangun
relasi yang akrab dengan Bunda Maria”, demikian biarawan yang biasa dipanggil
fr. Anton ini menceritakan. Beliau mengungkapkan bahwa karena dari kecil sudah
membangun relasi yang intens dengan Bunda Maria melalui doa-doa bersama
keluarga dan juga kehidupan dalam keluarga dan masyarakat yang memiliki devosi
yang kuat kepada Bunda Maria, ini memudahkannya mengitegrasikan diri dengan
Kongregasi yang berada di bawah naungan Bunda Maria dengan gelar Maria Bunda
Hati Kudus. Selama bertahun-tahun menyandang predikat sebagai pelaku hidup bakti
dalam tarekat Maria, beliau secara komprehensif telah menghidupkan nilai-nilai
yang diwartakan oleh Bunda Maria menurut cerita kitab suci.
Ketika ditanyai
seperti apa konkretnya kitab suci mencatat nilai-nilai hidup Bunda Maria yang
menjadi pedoman hidup dalam kaitannya dengan semangat kepeduliaan, salah
seorang frater senior Indonesia ini dengan pasti menunjuk pada dua teks kita
suci. “Teks yang pertama adalah dari Injil Yohanes 2:1-11, menceritakan peran
Bunda Maria dalam pesta perkawinan di Kana. Sedangkan teks yang kedua juga dari
Injil Yohanes 19:25-34, mengisahkan tentang Bunda Maria yang berada di kaki
salib Tuhan dalam peristiwa jalan salib Tuhan Yesus. Kedua teks ini secara
gamblang menjelaskan kepedulian Bunda Maria tehadap kesulitan yang dialami
sesamanya”, tegasnya. Frater yang pada 3 Oktober 2017 berusia 86 tahun ini
selanjutnya menjelaskan bahwa pada peristiwa perkawinan di Kana, dapat
dibayangkan betapa malunya tuan pesta apabila anggur benar-benar habis. Maria
hadir di saat yang tepat, terlibat dengan kesulitan yang dialami oleh si tuan
pesta. Dia ikut merasakan. Maria peduli dengan persoalan pelik yang dihadapi
penyelenggara pesta itu. Tidak berhenti di situ, tetapi Maria melakukan
tindakan nyata. Dia percaya bahwa puteranya mampu melakukan sesuatu. Imannya
yang luar biasa ini membawa konsekuensi, mujizat terjadi. Air berubah menjadi
anggur yang lezat. Pesta berjalan lancar tanpa kendala. Penyelenggaranya
bersukacita tanpa masalah. “Ini semua berkat aksi nyata Bunda Maria. Buah
semangat kepeduliannya yang terintegrasi dalam hidup dan karya puteranya,
Yesus”, tandasnya.
Lebih lanjut
sesepuh yang pernah mengenyang pendidikan di Seminari Menengah St. Yohanes
Berchmans, Mataloko ini menguraikan peristiwa kedua dalam hidup Bunda Maria
yang secara jelas menunjukkan kepeduliaannya terhadap sesama (umat manusia)
adalah peristiwa di kaki salib. “Kitab suci juga mencatat bahwa salah seorang
wanita yang setia sampai di kaki salib dalam peristiwa jalan salib Tuhan Yesus
dari gedung pengadilan agama Yahudi sampai di puncak Golgota adalah Bunda
Maria, ibu Yesus”, ungkapnya. Biarawan yang suka membaca buku ini mengungkapkan
bahwa Bunda Maria menjadi saksi hidup akan penderitaan puteranya memanggul
salib demi menebus dosa-dosa umat manusia. Di bawah kaki salib, Bunda Maria
menyaksikan sendiri sang putera, buah rahimnya menyerahkan nyawa-Nya di atas
kayu salib. Hatinya hancur. Menderita tiada tara. Semua itu ditanggung sang
Bunda demi cintanya kepada sang putera dan kepeduliaannya terhadap umat
manusia. Bunda Maria hadir mewakili orang-orang yang percaya kepada Tuhan dan
dia berpatisipasi dalam karya agung penebusan oleh Sang Juruselamat. “Cinta dan
kepeduliaannya membuahkan rahmat berlimpah bagi keselamatan umat manusia
terutama para pendosa. Di bawah kaki salib, Bunda Maria diserahkan kepada kita
anak-anaknya yang diwakilkan oleh murid yang dikasih Tuhan. Bunda Maria
dipersembahkan kepada dunia sebagai ibu, pengantara dan penyalur rahmat Tuhan.
Inilah bukti nyata kepedulian Bunda Maria bagi umat manusia yang sangat dikasihinya”,
tegasnya.
Berbicara
tentang perwujudan konkret semangat kepedulian yang dapat ditimba dari Bunda
Maria, frater yang telah bertahun-tahun berkarya di sekolah sebagai guru dan
kepala sekolah ini mengungkapkan bahwa sebagai biarawan yang adalah seorang
guru, ada banyak kesempatan yang bisa dilakukan sebagai aksi semangat
kepedulian. “Misalnya, sebagai guru kita bisa mengajar dengan penuh dedikasi,
menyiapkan perangkat pembelajaran dengan baik dan teratur, disiplin, memiliki
hubungan yang baik dengan semua warga sekolah, penuh perhatian terhadap
anak-anak yang memerlukan perlakukan khusus entah karena masalah ekonomi
keluarga atau anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Sebagai kepala
sekolah, kita bisa menjadi pemimpin yang berpiritualitas pelayan, pemimpin yang
mengayomi, membimbing, mendukung rekan kerjanya bukan memerintah atau menguasai,
uraiannya memberi contoh.
Dikatakannya
juga, bahwa sebagai biarawan, Frater Bunda Hati Kudus, kita telah memiliki
sosok Ibu sebagai suri teladan dalam mewujudkan semangat kepeduliaan. Dalam
hidup bersama sebagai saudara dalam komunitas, hal-hal sederhana yang bisa kita
lakukan terhadap konfrater, seperti menyapa, memberi perhatian lebih di
hari-hari istimewanya, memberi apresiasi atas kesuksesan dan memberi dukungan atas
kegagalan yang dialaminya, mendoakan dan meneguhkan yang mengalami kegoncangan
hidup panggilan, kemenghargai perbedaan dan menghidupi sikap saling
menumbuhkan. “Ada banyak peluang dalam hidup bersama yang bisa dilakukan untuk
mengungkapkan bentuk kepedulian kita kepada sesama saudara, tergantung sejauh
mana kita memiliki hati yang peduli. Spiritualitas hati yang menjadi
spiritualitas kongregasi dengan jelas mengajak anggota untuk bertindak dan
berperilaku atas dasar pertimbangan hati. Tentu hati yang dimaksudkan di sini
adalah hati yang dipenuhi oleh nilai-nilai kristiani yang satu di antaranya
adalah peduli. Maria Bunda Hati Kudus melalui spiritualiatas perkawinan di Kana
dan peristiwa di bawah salib yang menjadi sumber inspirasi hidup bagi para
frater telah menunjukkan teladan yang agung dalam hubungannya dengan semangat
kepedulian,” tegas frater yang memiliki kesetiaan dalam doa dan renungan
pribadi hingga di masa pensiunnya ini.
Selain itu ada
sosok pribadi lain yang menjadi panutan juga dalam berpeduli. Dia adalah Bapa
pendiri Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, Mgr. Andreas Ignatius Schaepman.
“Sesuai namanya yaitu Schaepman
(Belanda) atau Sheepman (Inggris)
yang berarti penggembala, Bapa pendiri adalah seorang pribadi yang peduli dan
penuh perhatian. Motto penggembalaannya sebagai uskup agung Utrecht yaitu “In Sollicitudine et Simplicitate” yang berarti dalam
kepedulian dan kesederhanaan sungguh-sungguh diwartakannya melaui cara
hidupnya. Termasuk semangat awal yang mendorongnya mendirikan kongregasi
berangkat dari motto tersebut. Bapa pendiri adalah pribadi yang briliant.
Ini tidak hanya berarti kemampuan intelektualnya yang luar biasa tetapi juga tentang
totalitas dan kesungguh-sungguhanya dalam melayani. Semua tugas dan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya dilakukan secara optimal. Hal ini dapat dimaknai
sebagai bentuk kepeduliannya yang total terhadap karya pelayanan dan orang-orang
yang dipercayakan kepadanya,” kata frater yang memiliki tulisan tentang nilai-nilai
warisan bapa pendiri ini mengakhiri pembicaraan.