Namaku Nuela, diambil dari Emanuela karena aku dilahirkan di bulan
Desember. Bulan yang sungguh indah bagi segenap umat kristiani di seluruh dunia
karena pada bulan ini Sang Imanuel, Allah beserta kita dilahirkan. Aku adalah pemilik
wajah cantik dengan senyum manis yang memesona. Aku baik hati dan tipe pribadi
yang setia. Kehadiranku selalu menyenangkan orang-orang di sekitarku. Demikian
siapa aku menurut teman-temanku. Namun, pengalaman hidupku tidak secantik wajah
yang kumiliki. Aku akan menceritakan kisah hidupku untuk membuktikan kebenaran
pernyataanku itu.
Seperti yang sudah kukatakan bahwa aku memang memiliki wajah cantik. Hal
ini membuat aku menjadi primadona di kampusku dulu. Aku menjadi rebutan
cowok-cowok keren, kaya dan cerdas. Adalah si Rio yang beruntung. Cowok hitam
manis berdarah Flores yang murah senyum itu berhasil memikat hatiku. Dia
memanggilku choti, kata bahasa India
yang berarti adik perempuan. Itu bukan berarti dia menganggapku sebagai adik
perempuannya tetapi dengan panggilan itu dia merasa lebih dekat dan nyaman
dalam menjalin relasi denganku sebagai pasangan kekasihnya. Begitulah latar
belakang pemilihan kata choti sebagai
panggilan kesayangannya untuk aku.
Tiga tahun berpacaran semenjak pertama kali kami dekat di awal-awal masa
kuliah semester satu di sebuah kampus negeri ternama di kota Malang. Kemudian
peristiwa itu terjadi. Sebuah kenyataan yang nanti-nantinya akan menjadi beban
hidup yang amat berat untuk ditanggung. Aku dinyatakan positif hamil oleh
karena kedekatan kami yang terlampau jauh. Rio memang sungguh mencintaiku. Apa
pun keadaanku, dia bertanggung jawab. Selama aku hamil, Rio bersedia menemani
dan melayani kebutuhanku sebagai ibu hamil. Rio sungguh berperan sebagai
“suami” yang bertanggung jawab. Kami sepakat untuk tidak memberitahukan
peristiwa itu kepada orang tua kami masing-masing dan merahasiakannya dari
orang-orang terdekat hingga bayi itu dilahirkan. Kami berencana akan menitipkan
anak kami di panti asuhan. Itu memang pilihan terberat bagi kami dan aku
sebagai ibunya akan menanggung beban psikis yang sangat berat dalam hidupku.
Tetapi kami harus melakukannya mengingat masa depan kami yang belum jelas dan kuliah
kami juga yang masih tertahan di awal semester tujuh karena cuti.
Rio memang sungguh bertanggung jawab. Dia tetap menjagaku selama masa
kehamilan anak kami. Uang bulanan yang dikirim orang tuanya, kami pakai bersama
untuk kebutuhan kami termasuk biaya pemeriksaan rutinku sebagai ibu hamil dan
biaya rumah kontrakan yang kami tempati.
Akhirnya, aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan normal setelah
mengandungnya kira-kira sembilan bulan. Setelah bersama kami sekitar tiga
bulan, bayi itu kami titipkan di salah satu panti asuhan terbaik di kota
Malang. Kami mendatangi suster pengasuh panti asuhan untuk menitipkan bayi itu.
Kami membicarakan dengan baik-baik duduk persoalan dan latar belakang keputusan
kami. Suster memahami dan menerimanya. Semua berjalan sesuai rencana kami.
Selanjutnya kami mulai lagi hidup kami sebagai mahasiswa. Kami melajutkan
lagi kuliah kami yang sempat tertunda dan memutuskan untuk menjaga jarak agar
tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diharapkan. Kami tetap berkomunikasi
dengan baik dan berpegang teguh dengan komitmen bersama itu. Kadang-kadang kami
berdua berkunjung anak kami di panti asuhan. Kami bertahan dengan kesepakatan
itu sampai diwisuda menjadi serjana. Setelah itu Rio kembali ke kampung
halamannya sedangkan aku memutuskan untuk menetap di Malang. Keputusanku
disetujui oleh kedua orang tuaku. Sebagai lulusan terbaik dari universitas
terbaik, aku dengan mudah diterima untuk bekerja di sebuah sekolah swasta favorit
di kota Malang sebagai guru BP sesuai ijasahku.
Di luar rutinitasku sebagai guru, aku terlibat secara aktif di perhimpunan
para pemerhati panti asuhan yang aku gagas sendiri bersama teman-teman yang
memiliki minat yang sama. Aku melakukan itu selain karena aku berminat dalam
karya sosial semenjak kuliah dulu juga sebagai panggilan hati untuk
menyelamatkan jiwaku, menebus kesalahan yang pernah kubuat terhadap anakku
sendiri. Dengan begitu, aku juga secara langsung dapat mengikuti proses tumbuh
kembang putraku. Dengan selalu mengunjungi, menyalurkan bantuan ke panti
asuhan-panti asuhan termasuk panti asuhan dimana anakku tinggal, aku mempunyai
kesempatan bertemu dan berkomunikasi dengannya, tanpa dia dan orang lain tahu
bahwa akulah ibu kandungnya, kecuali suster pengasuhnya. Sesungguhnya batinku
tersiksa menyimpan rahasia ini. Ingin kuselalu memeluknya setiap kali berkunjung
tapi aku tidak ingin menciptakan kesan pilih kasih bagi anak-anak panti yang
lain. Suster yang mengetahui rahasia ini memahami sungguh perasaanku sebagai
seorang ibu. Kadang dia berusaha menciptakan momen agar aku bisa berdua bersama
anakku. Dan saat itu adalah momen terindah bagiku. Aku ingin jujur mengatakan
sebenarnya tetapi aku tidak ingin hal itu melukai hati anakku. Aku juga takut
dia menolak aku sebagai ibunya. Dia masih terlalu kecil untuk memahami itu
semua. Aku bertahan dengan kenyataan itu dan berjanji dengan diriku sendiri pada
saatnya nanti rahasia ini harus diketahui anakku, entah bagaimana caranya.
Suatu hari tiba-tiba aku mendapat informasi dari suster pengasuh bahwa
anakku tidak tinggal di panti asuhan lagi. Sebuah keluarga dermawan dari Blitar
mengadopsinya. Saat itu usianya empat tahun, dia akan masuk TK di bawah asuhan
orang tua barunya. Hatiku hancur, aku kehilangan kontak dengan anakku.
Semangatku aktif di perhimpunan yang sudah berkembang bagus selama ini menjadi
redup. Aku kehilangan gairah. Namun aku tidak boleh egois. Anakku butuh figur
ayah-ibu untuk membesarkannya. Mengetahui dia berada pada orang yang tepat yang
dapat memenuhi kerinduan psikisnya, itulah sedikit hiburan yang membuatku tetap
bertahan di organisasi yang aku gagas ini.
Waktu terus berlalu. Anakku tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan
memiliki karakter yang kuat. Rupanya gen kecerdasan yang dimiliki Rio, ayah
kandungnya menurun pada anakku. Orang tua angkatnya merawat dia dengan baik
selayaknya anak sendiri. Karena kecerdesan dan kepribadian yang dimilikinya
dinilai mumpuni, orang tua angkat anakku mengijinkan dia masuk seminari. Anakku
bercita-cita menjadi Pastor, seperti yang selalu kutanyai dulu ketika
mengunjunginya di panti asuhan.
Singkat cerita, ketekunan, kecerdasan dan kesetiaannya pada pilihan
hidupnya, anakku diperkenankan untuk menerima sakramen imamat. Anakku
ditahbiskan menjadi seorang imam praja keuskupan Malang. Aku menyaksikan
seluruh rangkaian perayaan tahbisan itu dengan mata kepalaku sendiri. Sedih dan
terharu, bercampur menjadi satu. Aku sedih karena bukan aku, ibu kandungnya
yang berdiri di sana, mendampinginya. Aku terharu karena putraku, darah daging buah
relasi di luar nikah bersama Rio, anak dari orang tua yang tak bertanggung
jawab seperti kami ini, hari ini mataku menyaksikan sendiri dia diurapi menjadi
imam Allah dalam sebuah perayaan yang khusuk dan meriah. Aku juga bahagia
karena dari rahim wanita berdosa ini, terlahir seorang imam yang akan
menyelamatkan banyak jiwa yang dilayaninya kelak. Aku berdoa dalam hati, semoga
anakku setia dengan imamatnya dan menjadi seorang gembala yang mencintai dan
dicintai umatnya.
Dan di kedalaman hatiku, aku menangis, meratapi nasibku yang tersiksa oleh
sebuah rahasia besar yang hingga kini belum mampu kuungkapkan secara jujur
terhadap anakku. Untuk ke sekian kalinya aku berjanji, termasuk di hari
pentahbisannya ini, aku juga berjanji bahwa pada saatnya aku akan mengungkapkan
rahasia itu. Rahasia yang membebani hidupku bertahun-tahun, sejak anakku masih
bayi hingga kini dia telah menjadi imam. Rahasia yang membuat hidupku serasa
tak memiliki makna di hadirat Tuhan. Karena memiliki rahasia itu, sudah
bertahun-tahun pula aku tak pernah sekalipun menyambut komuni kudus pada setiap
perayaan Ekaristi. Aku memiliki dosa besar yang butuh kerahiman Allah untuk
mengampuniku. Sebenarnya aku memiliki kesempatan untuk menerima sakramen
pengampunan, namun semenjak aku tahu anakku masuk seminari dan ingin menjadi
imam, aku memutuskan akan melakukan rekonsiliasi langsung dengannya. Dengan
anakku yang kini sudah menjadi pastor di parokiku, rencana yang sudah kubuat
bertahun-tahun itu menjadi lebih mungkin dan mudah kulakukan.
Momen itu pun datang. Seperti biasa, menjelang perayaan Natal akan selalu
ada penerimaan sakramen tobat sebagai bentuk persiapan bagi umat kristiani
untuk menyambut kelahiran Sang Imanuel. Kali ini aku sungguh-sungguh berniat
mengakui dosaku langsung pada pastor yang juga putraku sendiri sekaligus
mengungkapkan rahasia yang selama ini kusembunyikan. Aku melakukan itu bukan
karena kebetulan anakku menjadi bapa pengakuan tetapi lebih karena aku sudah
siap setelah bertahun-tahun mengumpulkan energi keberanian untuk hal itu apalagi
saat ini anakku yang sudah dewasa dengan martabatnya sebagai imam Allah yang
Maharahim, aku yakin anakku lebih siap mendengar pengakuanku. Anakku akan
sangat bijaksana menyikapi masalah ini. Aku juga sudah siap dengan berbagai
konsekuensi yang harus kuterima, apa pun itu.
Kamar pengakuan sesaat menjadi lengang. Aku tertunduk dan diam. Aku
tergugu, tak kuasa mengangkat kepala. Pengakuan dosa atau lebih tepatnya pengungkapan
secara jujur rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat itu berjalan lancar
walau dadaku terasa sesak seperti ditindih beban berat. Aku menangis dan
gemetar. Masih dalam posisi tertunduk. Sesaat aku mendengar suara sesegukan.
Suara itu berasal dari orang yang ada di depanku. Sang gembala juga menangis.
Mungkin dia marah, kecewa atau barangkali dia terharu bahagia karena bertemu
dengan seseorang yang ternyata ibu kandungannya sendiri, begitu pikirku.
Entahlah, aku sungguh tidak mengerti. Sang pastor tetap menuai tugasnya sebagai
bapa pengakuanku saat itu. Dengan tenang dia menyuruhku mendoakan doa tobat
sambil dia mendaraskan rumusan pengampunan dosa untuk memberi absolusi yang
dikuasakan kepadanya sebagaimana dilakukan para bapa pengakuan pada umumnya. Semuanya
berjalan seperti biasa hingga aku keluar dari kamar pengakuan untuk menjalani
penitensi seperti yang diberikan sang gembala.
“Mama, sampaikan salamku untuk bapak”. Aku tidak salah dengar. Itu
kata-kata dari mulut sang Pastor dari balik kamar pengakuan yang ditempatinya.
Langkahku terhenti dan segera balik menghadap sumber suara itu untuk
memastikan. Anakku memaafkan kami, orang tua kandungnya. Aku mendapati senyum
pengampunan yang ikhlas di wajahnya. Plong. Beban berat yang selama
bertahun-tahun lamanya menindih dadaku lenyap seketika. Aku menangis bahagia.
Anakku memanggil aku “mama”, pertama kali dalam hidupku. Dan kata bapak dalam
kalimatnya tadi menjadi tanda bahwa dia menerima aku dan Rio sebagai orang tua
kandungnya. Ini sebuah sukacita besar bagiku dan tentu juga bagi Rio. Aku akan
mengabarinya segera.
Natal tahun ini menjadi perayaan yang sungguh istimewa dalam hidupku. Aku
menerima dua hadiah sekaligus, anakku memaafkanku dan aku pun bisa berdamai
dengan rahasia yang selama ini menghatui hidupku. Aku sungguh mengalami belas
kasih Allah melalui sakramen pengampunan yang kuterima melalui tangan terurapi,
putraku sendiri. Aku akan mengingat selalu peristiwa ini sepanjang hidupku
sebagai momen kerahiman kamar pengakuan. Aku semakin mengimani kerahiman Allah
yang tanpa batas bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya.
SALAM DAMAI NATAL UNTUK ORANG-ORANG TERCINTA. Ini adalah kata-kata yang
tertulis dalam kartu itu. Sebuah kartu Natal yang dikuterima dari koster
parokiku. Di bawah tulisan itu terdapat tiga foto. Paling kiri adalah foto aku
dan Rio, di bawahnya ada keterangan: Bapak dan Mama yang telah menghadirkan aku
di dunia ini. Paling kanan adalah foto orang tua angkat anakku, diberi
keterangan: Ayah dan Ibu yang telah menunjukkanku bagaimana menjalani hidup di
dunia ini. Dan yang ketiga, berada di tengah-tengah adalah foto dengan
keterangan: Oma, malaikatku yang cantik nan lemah lembut yang dengan sabar
mengajariku bahwa Tuhan memberikan empat orang tua kepadaku bukan tanpa alasan.
Melalui Oma itu semua upaya “pembebasan” aku dari belenggu rahasia yang
kusembunyikan selama ini menemui akhir ceritanya. Beliau yang selalu
mendampingi anakku untuk menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Semua
rahasia masa kecil sejak dia diantar ke panti asuhan hingga diadopsi
diceritakan secara jujur oleh sang Oma sambil terus mendukung anakku untuk
memaafkan kami, orang tuanya. Proses itu adalah bagian dari penerimaan masa
lalu yang harus dilakukan anakku dalam tahap-tahap formasi menjadi imam. Anakku
melaluinya dengan baik hingga ia mengalami penerimaan yang sempurna. Sebuah
bentuk penerimaan yang indah. Adalah Oma, suster pengasuh panti asuhan anakku
dulu menjadi aktor di balik kisah ini semua termasuk yang memberikan fotoku
bersama Rio kepada anakku.
Di bawah ketiga foto itu ada tanda tangan di atas nama, RD. Emanuel
Mariano. Itu adalah nama anakku yang kini sudah menjadi seorang imam. Nama itu
adalah gabungan dari nama baptis aku dan Rio. Dulu, ketika kami menyerahkan
bayi Nuel ke panti asuhan, kami juga menyerahkan nama itu dengan pesan suatu
ketika apabila Nuel akan dibaptis, gunakan nama itu jika dia dan orang tua
angkatnya tidak keberatan. Kami berharap dengan dia memakai nama itu, itu berarti
dia mau menerima dan mengakui kami sebagai orang tua kandungnya. Syukur kepada
Tuhan, harapan kami akhirnya terpenuhi. Aku yakin semua itu merupakan rahmat
yang diperoleh dari kemurahan kasih Tuhan yang tersimpul dalam kerahiman kamar
pengakuan.