Wednesday, 30 September 2015

Berlibur Bersama Tuhan

Delapan hari bersama-Mu, Tuhan sungguh sebuah pengalaman “berlibur” yang menggembirakan. Karya rahmat-Mu sungguh luar biasa. “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan menyambut aku.” Demikianlah kata-kata Mazmur 27:10. Tepat sekali Mazmur itu berbicara tentang pengalaman hidupku. Sharing pengantar dengan pembimbing sebagai perkenalan siapa diriku dan bagaimana pergulatan-pergulatan yang aku alami dalam perjalanan hidupku, kumulai dengan ayat itu. Jujur Tuhan, sesungguhnya aku gelisah pada awalnya. Aku ragu, sanggupkah aku bertahan 1 jam hening di hadapan-Mu, 4 kali sehari? Kau tidak bercanda, kan Tuhan? Soalnya aku tidak pernah meditasi semenjak di Novisiat dulu, sekitar 9 tahun lalu. Aku sungguh cemas.
Namun karya rahmat Tuhan sungguh luar biasa. Berbekal sebuah niat sederhana terinspirasi oleh renungan misa pembuka retret, aku mengawali hari-hari penuh rahmat ini dengan sebuah kerinduan dan harapan: aku ingin mengalami kasih Allah di kedalaman hatiku dan pada saat yang sama aku menemui diriku yang rapuh penuh dosa. Engkau mengajakku untuk bertolak ke tempat yang dalam.
Kuakui bahwa ini tidak mudah bagiku, Tuhan. Perjalananku menuju ke keheningan-Mu bagaikan sebuah biduk tanpa cahaya mercu suar. Aku kehilangan arah, aku gelisah, aku mengalami desolasi. Aku menyadari bahwa perjalanan terpanjang di dunia ini adalah perjalanan menuju diri sendiri. Aku menyadari kerapuhanku. Aku tidak bisa hening, Tuhan. Ada banyak hal yang berkeliaran di kepalaku. Namun, Engkau tidak kalah akal. Melalui rahmat-Mu, Engkau berkarya menuntunku. Dengan sebuah ajakkan, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian dan beristiratlah seketika” (Mark 6:31), aku pun berhenti dari segala kesibukanku. Aku membiarkan otakku beristirahat dari semua hal yang berkeliaran di dalamnya. Aku mau “berlibur bersama Tuhan” untuk mengalami keindahan gunung Tabor-Nya. Aku mau menyepi untuk berbagi bersama-Mu, Tuhan.
Di sebuah taman yang hening, pada sebuah bangku, aku duduk bersama-Mu dan kita mulai berbagi sebagai sepasang sahabat yang saling mengasihi. Aku mulai menceritakan semua pengalaman hidupku, tentang suka dan duka, tawa dan air mata, penghiburan dan pergulatan-pergulatanku. Engkau setia mendengarkanku. Kadang Engkau memotong ocehanku dengan kata-kata peneguhan. Engkau mengatakan bahwa kematian ibuku adalah anugerah terindah di jalan hidupku. Engkau menyinggung tentang cinta ayahku yang begitu besar kepadaku. Engkau mengatakan bahwa ayahku terlalu baik sehingga Tuhan mengajari dia cara untuk mendidikku. Engkau pun berani menoreh lukaku. Engkau mengatakan bahwa mataku yang juling adalah tanda dalam diriku sebagai bagian dari rencana Tuhan. Ah….Tuhan, Engkau memang sahabatku yang paling jujur.
Aku percaya, Tuhan bahwa semua yang terjadi dalam hidupku adalah rancangan Allah. Aku menyadari bahwa kehidupanku adalah anugerah dari Allah, aku diciptakan karena cinta-Nya. Oleh karena itu, Dia memeliharaku dengan penuh cinta kasih mulai dari kandungan ibuku. Aku adalah hadiah-Nya yang terindah. Hadiah yang diberikan kepada diriku sendiri, orang-orang terdekatku, juga sesamaku sebagaimana mereka adalah hadiah bagiku. Sebagai manusia, aku diciptakan dengan tujuan keselamatan. Aku diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah dan dengan itu menyelamatkan jiwaku. Merenungkan hal ini membuat aku merasa malu. Aku menyadari bahwa dalam hidup, aku kadang terbawa pengaruh duniawi untuk memuliakan diri dan mengejar popularitas diri. Hidupku dangkal. Aku menggunakan sarana-sarana yang ada (HP, internet, laptop) untuk kemuliaan diri dan pemenuhan kerinduan-kerinduanku. Kadang aku menjadi begitu terikat dengan sarana-sarana itu.
Setelah aku menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan untuk Allah, akhirnya aku menemukan cara-cara sederhana untuk memuliakan Dia. Aku mengagumi keagungan ciptaan Tuhan melalui alam ciptaan-Nya. Aku belajar tentang ketabahan melalui pohon cemara yang tetap tegar walau di setiap detik kehidupannya diterpa angin, hujan dan terik matahari. Tanaman parasit yang melekat di pohon pinus memberi inspirasi kepadaku bahwa dalam hidup, aku hendaknya selalu bergantung kepada Tuhan. Pada setumpuk sampah yang berserakan di sudut taman, aku disadarkan bahwa perziarahan hidupku pada saatnya akan berakhir. Seperti sampah-sampah itu, aku hanya akan menjadi seonggok daun kering tak bernyawa. Bergunakah aku tatkala hidupku masih sebagai “daun hijau” pada pohon, dimana aku bernafas, akan menjadi pertanyaan reflektif bagi hidupku. Aku terpesona pada cara Tuhan mendandani tumbuh-tumbuhan: warna daun dan kembangnya yang selalu serasi, ada kombinasi warna dengan bintik-bintik kecil yang begitu indah. Dialah yang membatiknya. Bersama alam ciptaan-Nya, aku ingin memuliakan Allah dengan cara-cara sederhana itu agar hidupku tidak sibuk dengan kemuliaan diriku sendiri.
Tuhan, ketika ingin berbagi dengan-Mu tentang pengalaman panggilanku, aku menyadari bahwa panggilan hidupku melewati sebuah proses yang panjang dengan berbagai refleksi. Aku mengagumi cara-Mu memanggilku melalui seorang teman yang ketika di SD dulu, dia adalah musuhku. Walaupun dulu kami sering bertengkar tetapi Engkau memakainya untuk memanggilku dengan namaku sendiri. Seperti Petrus, Engkau memanggilku dengan namaku yang baru: Walterus. Aku menjawab YA terhadap panggilan-Mu dan memutuskan untuk mengikuti-Mu dengan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi.
Pada liburanku bersama-Mu di hari yang ke-5, aku mengalami pengalaman yang sungguh luar biasa. Merenungkan firman-Mu tentang Sabda Bahagia dan Khotbah di Bukit membawaku pada sebuah kesadaran yang menakjubkan. Aku merasakan bahwa sabda-sabda-Mu itu sungguh-sungguh hidup. Setiap ayat berbicara sesuatu tentang kehidupanku. Ada yang meneguhkan, menguatkan, menegur, menasihati, menantang dan mengingatkan. Ada juga yang mengecewakan, membuat aku merasa sedih dan malu. Dengan rendah hati aku mengakui bahwa sabda-sabda-Mu yang tertulis dalam kitab suci bukanlah kumpulan huruf-huruf mati yang membentuk kalimat-kalimat kaku dari rangkaian kata-kata tak bernyawa melainkan sabda-sabda itu sungguh-sungguh hidup dan berbicara tentang semua konteks kehidupanku.
Tuhan, aku tahu bahwa dengan memutuskan untuk mengikuti-Mu berarti aku harus tinggal bersama-Mu, melayani seperti Engkau dan berkarya bersama-Mu. Bapa telah melengkapi diriku dengan bakat-bakat dan kemampuanku, kelebihan-kelebihan dan kekuatanku. Aku ingin mempersembahkan seluruhnya demi kemuliaan nama-Mu. Aku menyadari bahwa tuntutan pengosongan diri dalam mengikuti-Mu adalah sesuatu yang tidak mudah untuk kuhayati. Aku manusia lemah yang tak pernah luput dari dosa. Ada sederetan daftar kelemahan dan kerapuhan yang perlu kubenahi. Ada ketakutan-ketakutan akan “Yerusalemku” yang menjadi realitas kehidupan di dunia, komunitas dan tempat tugasku. Akankah aku setia dan komitmen dengan niat-niat yang sudah kubuat saat berlibur bersama-Mu di gunung Tabor ini? Engkau tak gentar memasuki kota Yerusalem untuk menyongsong penderitaan-Mu kiranya akan menjadi peneguh langkahku di realitas “Yerusalemku”.
Engkau mengajariku arti sebuah pelayanan penuh kasih melalui peristiwa pembasuhan kaki para murid-Mu pada malam perjamuan terakhir. Sebuah perwujudan cinta kasih yang membawaku pada pengalaman diampuni dan disembuhkan. Engkau mengajakku untuk menghadirkan semua orang yang pernah menjadi “Yudas” dalam kehidupanku. Satu per satu sambil membasuh kakinya masing-masing, aku mengampuni dan memaafkan mereka. Sungguh Tuhan, ini sebuah pengalaman penyembuhan yang mendamaikan.      
Pada liburan kita di hari yang ke-7, Engkau membawaku ke puncak Golgota, tempat dimana Engkau disalibkan untuk menebus dosa-dosa kami umat manusia. Aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan cinta-Mu yang Engkau tunjukkan dari salib suci-Mu. Aku hanya bisa memandang-Mu, Tuhan. Salib-Mu menyingkapkan tiga rahasia yang sungguh agung: tentang penyerahan diri-Mu yang total, tentang cinta-Mu kepada umat manusia dan tentang kesetian-Mu kepada kehendak Bapa. Aku tahu Tuhan bahwa Engkau disalibkan bersama dunia yang menangis oleh ketidakadilan, keserakahan, korupsi, diskriminasi, peperangan, terorisme dan pengungsian. Ada penderitaan orang-orang di rumah sakit, mereka yang berkebutuhan khusus dan jeritan mereka yang tak mampu bersuara. Aku melihat penderitaan orang-orang terdekatku, aku mendengar tangisan orang-orang yang dipercayakan kepadaku, juga aku mendengar tangisan hatiku oleh deraan tangtangan dan pergulatan-pergulatan hidupku. Aku menyadari bahwa Engkau disalibkan bersama jeritan kami.
Namun, Tuhan di tengah penderitaan-Mu yang mahadasyat, Engkau masih mempunyai seorang ibu yang setia menemani-Mu di jalan salib-Mu. Engkau mendapat kekuatan dari sang Bunda walaupun yang lain meninggalkan-Mu. Sesungguhnya aku iri dengan-Mu. Pada jalan salib kehidupanku, aku berjuang sendiri. Tak ada seorang ibu yang membangunkanku ketika aku jatuh. Tak ada seorang ibu yang mengusap air mataku ketika aku menangis. Tak ada seorang ibu yang menghiburku ketika aku ditinggalkan. Dan tak ada seorang ibu yang menguatkanku ketika aku tak berdaya. Tetapi aku yakin semua yang terjadi dalam hidupku adalah rencana dan kehendak-Mu. Dengan memandang salib-Mu, aku mendapatkan kekuatan untuk mengarungi hidupku.
Akhirnya, kita sampai di penghujung waktu liburan kita. Hatiku berkobar-kobar penuh gembira karena aku mengalami kehadiran-Mu. Aku bersukacita bersama Maria Magdalena dan dua murid Emaus karena kami melihat Tuhan yang bangkit. Aku akan “turun gunung”, kembali ke “Yerusalemku”. Pengalaman-pengalaman konsolasi selama tinggal bersama-Mu di keheningan gunung Tabor ini akan menjadi kado untuk dibawa pulang. Aku akan membagikannya kepada siapapun yang aku jumpai. Aku siap diutus untuk membawa Kabar Gembira ini kepada dunia. Semoga bersama dan di dalam nama-Mu aku bisa menjadi Kabar Gembira itu sendiri. Amin.

Rumah Khalwat Roncalli-Salatiga
11 September 2015
Readmore → Berlibur Bersama Tuhan