Delapan
hari bersama-Mu, Tuhan sungguh sebuah pengalaman “berlibur” yang
menggembirakan. Karya rahmat-Mu sungguh luar biasa. “Sekalipun ayahku dan ibuku
meninggalkan aku, namun Tuhan menyambut aku.” Demikianlah kata-kata Mazmur
27:10. Tepat sekali Mazmur itu berbicara tentang pengalaman hidupku. Sharing
pengantar dengan pembimbing sebagai perkenalan siapa diriku dan bagaimana
pergulatan-pergulatan yang aku alami dalam perjalanan hidupku, kumulai dengan
ayat itu. Jujur Tuhan, sesungguhnya aku gelisah pada awalnya. Aku ragu,
sanggupkah aku bertahan 1 jam hening di hadapan-Mu, 4 kali sehari? Kau tidak bercanda,
kan Tuhan? Soalnya aku tidak pernah meditasi semenjak di Novisiat dulu, sekitar
9 tahun lalu. Aku sungguh cemas.
Readmore → Berlibur Bersama Tuhan
Namun
karya rahmat Tuhan sungguh luar biasa. Berbekal sebuah niat sederhana
terinspirasi oleh renungan misa pembuka retret, aku mengawali hari-hari penuh
rahmat ini dengan sebuah kerinduan dan harapan: aku ingin mengalami kasih Allah
di kedalaman hatiku dan pada saat yang sama aku menemui diriku yang rapuh penuh
dosa. Engkau mengajakku untuk bertolak ke tempat yang dalam.
Kuakui
bahwa ini tidak mudah bagiku, Tuhan. Perjalananku menuju ke keheningan-Mu
bagaikan sebuah biduk tanpa cahaya mercu suar. Aku kehilangan arah, aku
gelisah, aku mengalami desolasi. Aku menyadari bahwa perjalanan terpanjang di
dunia ini adalah perjalanan menuju diri sendiri. Aku menyadari kerapuhanku. Aku
tidak bisa hening, Tuhan. Ada banyak hal yang berkeliaran di kepalaku. Namun,
Engkau tidak kalah akal. Melalui rahmat-Mu, Engkau berkarya menuntunku. Dengan
sebuah ajakkan, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian dan
beristiratlah seketika” (Mark 6:31), aku pun berhenti dari segala kesibukanku.
Aku membiarkan otakku beristirahat dari semua hal yang berkeliaran di dalamnya.
Aku mau “berlibur bersama Tuhan” untuk mengalami keindahan gunung Tabor-Nya.
Aku mau menyepi untuk berbagi bersama-Mu, Tuhan.
Di
sebuah taman yang hening, pada sebuah bangku, aku duduk bersama-Mu dan kita
mulai berbagi sebagai sepasang sahabat yang saling mengasihi. Aku mulai
menceritakan semua pengalaman hidupku, tentang suka dan duka, tawa dan air
mata, penghiburan dan pergulatan-pergulatanku. Engkau setia mendengarkanku.
Kadang Engkau memotong ocehanku dengan kata-kata peneguhan. Engkau mengatakan
bahwa kematian ibuku adalah anugerah terindah di jalan hidupku. Engkau
menyinggung tentang cinta ayahku yang begitu besar kepadaku. Engkau mengatakan
bahwa ayahku terlalu baik sehingga Tuhan mengajari dia cara untuk mendidikku.
Engkau pun berani menoreh lukaku. Engkau mengatakan bahwa mataku yang juling
adalah tanda dalam diriku sebagai bagian dari rencana Tuhan. Ah….Tuhan, Engkau
memang sahabatku yang paling jujur.
Aku
percaya, Tuhan bahwa semua yang terjadi dalam hidupku adalah rancangan Allah.
Aku menyadari bahwa kehidupanku adalah anugerah dari Allah, aku diciptakan
karena cinta-Nya. Oleh karena itu, Dia memeliharaku dengan penuh cinta kasih
mulai dari kandungan ibuku. Aku adalah hadiah-Nya yang terindah. Hadiah yang
diberikan kepada diriku sendiri, orang-orang terdekatku, juga sesamaku
sebagaimana mereka adalah hadiah bagiku. Sebagai manusia, aku diciptakan dengan
tujuan keselamatan. Aku diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi
Allah dan dengan itu menyelamatkan jiwaku. Merenungkan hal ini membuat aku
merasa malu. Aku menyadari bahwa dalam hidup, aku kadang terbawa pengaruh
duniawi untuk memuliakan diri dan mengejar popularitas diri. Hidupku dangkal.
Aku menggunakan sarana-sarana yang ada (HP, internet, laptop) untuk kemuliaan
diri dan pemenuhan kerinduan-kerinduanku. Kadang aku menjadi begitu terikat
dengan sarana-sarana itu.
Setelah
aku menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan untuk Allah,
akhirnya aku menemukan cara-cara sederhana untuk memuliakan Dia. Aku mengagumi
keagungan ciptaan Tuhan melalui alam ciptaan-Nya. Aku belajar tentang ketabahan
melalui pohon cemara yang tetap tegar walau di setiap detik kehidupannya
diterpa angin, hujan dan terik matahari. Tanaman parasit yang melekat di pohon
pinus memberi inspirasi kepadaku bahwa dalam hidup, aku hendaknya selalu
bergantung kepada Tuhan. Pada setumpuk sampah yang berserakan di sudut taman,
aku disadarkan bahwa perziarahan hidupku pada saatnya akan berakhir. Seperti
sampah-sampah itu, aku hanya akan menjadi seonggok daun kering tak bernyawa.
Bergunakah aku tatkala hidupku masih sebagai “daun hijau” pada pohon, dimana
aku bernafas, akan menjadi pertanyaan reflektif bagi hidupku. Aku terpesona
pada cara Tuhan mendandani tumbuh-tumbuhan: warna daun dan kembangnya yang
selalu serasi, ada kombinasi warna dengan bintik-bintik kecil yang begitu indah.
Dialah yang membatiknya. Bersama alam ciptaan-Nya, aku ingin memuliakan Allah
dengan cara-cara sederhana itu agar hidupku tidak sibuk dengan kemuliaan diriku
sendiri.
Tuhan,
ketika ingin berbagi dengan-Mu tentang pengalaman panggilanku, aku menyadari
bahwa panggilan hidupku melewati sebuah proses yang panjang dengan berbagai
refleksi. Aku mengagumi cara-Mu memanggilku melalui seorang teman yang ketika
di SD dulu, dia adalah musuhku. Walaupun dulu kami sering bertengkar tetapi
Engkau memakainya untuk memanggilku dengan namaku sendiri. Seperti Petrus,
Engkau memanggilku dengan namaku yang baru: Walterus. Aku menjawab YA terhadap
panggilan-Mu dan memutuskan untuk mengikuti-Mu dengan berbagai konsekuensi yang
harus dihadapi.
Pada
liburanku bersama-Mu di hari yang ke-5, aku mengalami pengalaman yang sungguh
luar biasa. Merenungkan firman-Mu tentang Sabda Bahagia dan Khotbah di Bukit
membawaku pada sebuah kesadaran yang menakjubkan. Aku merasakan bahwa
sabda-sabda-Mu itu sungguh-sungguh hidup. Setiap ayat berbicara sesuatu tentang
kehidupanku. Ada yang meneguhkan, menguatkan, menegur, menasihati, menantang
dan mengingatkan. Ada juga yang mengecewakan, membuat aku merasa sedih dan
malu. Dengan rendah hati aku mengakui bahwa sabda-sabda-Mu yang tertulis dalam
kitab suci bukanlah kumpulan huruf-huruf mati yang membentuk kalimat-kalimat
kaku dari rangkaian kata-kata tak bernyawa melainkan sabda-sabda itu
sungguh-sungguh hidup dan berbicara tentang semua konteks kehidupanku.
Tuhan,
aku tahu bahwa dengan memutuskan untuk mengikuti-Mu berarti aku harus tinggal
bersama-Mu, melayani seperti Engkau dan berkarya bersama-Mu. Bapa telah
melengkapi diriku dengan bakat-bakat dan kemampuanku, kelebihan-kelebihan dan
kekuatanku. Aku ingin mempersembahkan seluruhnya demi kemuliaan nama-Mu. Aku
menyadari bahwa tuntutan pengosongan diri dalam mengikuti-Mu adalah sesuatu
yang tidak mudah untuk kuhayati. Aku manusia lemah yang tak pernah luput dari
dosa. Ada sederetan daftar kelemahan dan kerapuhan yang perlu kubenahi. Ada
ketakutan-ketakutan akan “Yerusalemku” yang menjadi realitas kehidupan di
dunia, komunitas dan tempat tugasku. Akankah aku setia dan komitmen dengan
niat-niat yang sudah kubuat saat berlibur bersama-Mu di gunung Tabor ini?
Engkau tak gentar memasuki kota Yerusalem untuk menyongsong penderitaan-Mu
kiranya akan menjadi peneguh langkahku di realitas “Yerusalemku”.
Engkau
mengajariku arti sebuah pelayanan penuh kasih melalui peristiwa pembasuhan kaki
para murid-Mu pada malam perjamuan terakhir. Sebuah perwujudan cinta kasih yang
membawaku pada pengalaman diampuni dan disembuhkan. Engkau mengajakku untuk
menghadirkan semua orang yang pernah menjadi “Yudas” dalam kehidupanku. Satu
per satu sambil membasuh kakinya masing-masing, aku mengampuni dan memaafkan
mereka. Sungguh Tuhan, ini sebuah pengalaman penyembuhan yang mendamaikan.
Pada
liburan kita di hari yang ke-7, Engkau membawaku ke puncak Golgota, tempat
dimana Engkau disalibkan untuk menebus dosa-dosa kami umat manusia. Aku
kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan cinta-Mu yang Engkau tunjukkan dari
salib suci-Mu. Aku hanya bisa memandang-Mu, Tuhan. Salib-Mu menyingkapkan tiga
rahasia yang sungguh agung: tentang penyerahan diri-Mu yang total, tentang
cinta-Mu kepada umat manusia dan tentang kesetian-Mu kepada kehendak Bapa. Aku
tahu Tuhan bahwa Engkau disalibkan bersama dunia yang menangis oleh
ketidakadilan, keserakahan, korupsi, diskriminasi, peperangan, terorisme dan pengungsian.
Ada penderitaan orang-orang di rumah sakit, mereka yang berkebutuhan khusus dan
jeritan mereka yang tak mampu bersuara. Aku melihat penderitaan orang-orang
terdekatku, aku mendengar tangisan orang-orang yang dipercayakan kepadaku, juga
aku mendengar tangisan hatiku oleh deraan tangtangan dan pergulatan-pergulatan
hidupku. Aku menyadari bahwa Engkau disalibkan bersama jeritan kami.
Namun,
Tuhan di tengah penderitaan-Mu yang mahadasyat, Engkau masih mempunyai seorang
ibu yang setia menemani-Mu di jalan salib-Mu. Engkau mendapat kekuatan dari
sang Bunda walaupun yang lain meninggalkan-Mu. Sesungguhnya aku iri dengan-Mu.
Pada jalan salib kehidupanku, aku berjuang sendiri. Tak ada seorang ibu yang
membangunkanku ketika aku jatuh. Tak ada seorang ibu yang mengusap air mataku
ketika aku menangis. Tak ada seorang ibu yang menghiburku ketika aku
ditinggalkan. Dan tak ada seorang ibu yang menguatkanku ketika aku tak berdaya.
Tetapi aku yakin semua yang terjadi dalam hidupku adalah rencana dan
kehendak-Mu. Dengan memandang salib-Mu, aku mendapatkan kekuatan untuk
mengarungi hidupku.
Akhirnya,
kita sampai di penghujung waktu liburan kita. Hatiku berkobar-kobar penuh
gembira karena aku mengalami kehadiran-Mu. Aku bersukacita bersama Maria
Magdalena dan dua murid Emaus karena kami melihat Tuhan yang bangkit. Aku akan
“turun gunung”, kembali ke “Yerusalemku”. Pengalaman-pengalaman konsolasi
selama tinggal bersama-Mu di keheningan gunung Tabor ini akan menjadi kado
untuk dibawa pulang. Aku akan membagikannya kepada siapapun yang aku jumpai.
Aku siap diutus untuk membawa Kabar Gembira ini kepada dunia. Semoga bersama
dan di dalam nama-Mu aku bisa menjadi Kabar Gembira itu sendiri. Amin.
Rumah
Khalwat Roncalli-Salatiga
11
September 2015